kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Perubahan PSAK di pelaporan SPT PPh Badan pada April 2021 bisa picu sengketa pajak


Rabu, 07 April 2021 / 12:02 WIB
Perubahan PSAK di pelaporan SPT PPh Badan pada April 2021 bisa picu sengketa pajak
ILUSTRASI. Perubahan PSAK di pelaporan SPT PPh Badan pada April 2021 bisa picu sengketa pajak


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Jatuh tempo pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan pajak penghasilan (PPh) badan 2020 akan berakhir di 30 April 2021. Salah satu lampiran SPT PPh badan 2020 tersebut adalah laporan keuangan yang sebagiannya sudah diaudit oleh kantor akuntan publik.  

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research, Prianto Budi Saptono, menjelaskan, untuk perusahaan yang wajib menerapkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan atau 3 PSAK baru di laporan keuangan mereka, ketiga standar akuntansi tersebut berpotensi meningkatkan tax dispute atau perselisihan pajak. 

Prianto bilang, ketiga PSAK yang berpeluang memunculkan perbedaan interpretasi di antara perusahaan dan otoritas pajak adalah PSAK 71, PSAK 72, dan PSAK 73. Pasalnya, konsep akuntansi di ketiga PSAK tersebut berbeda kontras dari konsep PSAK sebelumnya. 

Khusus untuk PSAK 71 yang mengatur instrumen keuangan, sumber tax dispute-nya, menurut Prianto, berasal dari keharusan pengakuan keuntungan, dan kerugian, yang belum terealisasi (unrealized gains/losses). Untung/rugi tersebut berasal dari valuasi periodik atas investasi saham (equity investment) dan/atau investasi surat utang (debt investment) sesuai harga pasarnya.  

Baca Juga: Pelaporan SPT Tahunan membaik, bayang-bayang shortfall masih di depan mata

Prianto mengatakan, untuk contoh unrealized gains, ketika perusahaan mengakui unrealized gains, keuntungan tersebut merupakan penghasilan dari sisi akuntansi. Dari sisi PPh, pertanyaan yang muncul adalah apakah keuntungan tersebut merupakan objek PPh.  

"Jadi, ada dua pendekatan penafsiran terhadap pengertian penghasilan di UU PPh, yaitu tekstual dan kontekstual," kata Prianto dalam keterangan resminya, Rabu (7/4).

Menurut Prianto, berdasarkan penafsiran tekstual atas pengertian penghasilan di Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 1983  terkait PPh sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja, unrealized gains tersebut merupakan penghasilan dan menjadi objek PPh.  

Tapi, berdasarkan pemahaman kontekstual sesuai rumusan penghasilan yang tidak pernah berubah sejak 1983 hingga kini, pengakuan penghasilan mengacu pada doktrin realisasi. “Berdasarkan doktrin realisasi tersebut, unrealized gains belum diakui sebagai penghasilan karena belum terealisasi,” ujar dia. 

Dua model penafsiran di atas berlaku juga untuk contoh unrealized losses yang timbul dari valuasi investasi saham/obligasi. Jika konsisten dengan unrealized gains sebagai objek PPh, unrealized losses seharusnya juga menjadi pengurang yang diperbolehkan (allowable deductions) saat penghitungan PPh badan 2020.  

Baca Juga: Begini cara Ditjen Pajak dorong pelaporan SPT Tahunan 2020

Akan tetapi, secara tekstual, petugas pajak dapat saja menggunakan pendekatan Pasal 6 ayat (1) UU PPh yang mengacu pada “matching principle” atau “matching cost against revenue”.

Dengan kata lain, pengakuan biaya berupa unrealized losses tidak terkait dengan kegiatan utama (core business) perusahaan sehingga kerugian tersebut tidak boleh dikurangkan. 

Jika digunakan interpretasi kontekstual dan konsisten dengan penerapan doktrin realisasi di UU PPh, unrealized losses seharusnya bukan merupakan pengurang penghasilan bruto. 

Baca Juga: Masih di bawah target, begini cara Ditjen Pajak dorong pelaporan SPT Tahunan 2020

Prianto mengusulkan, untuk memberi kepastian hukum (legal certainty) bagi perusahaan selaku wajib pajak badan, sudah seharusnya otoritas pajak menerbitkan aturan yang bersifat penegasan. Isi penegasannya berkaitan dengan UU PPh yang menerapkan matching principle dan doktrin realisasi sehingga penghasilan dan/atau biaya yang masih bersifat estimasi atau pencadangan tidak diperkenankan untuk tujuan PPh. 

Langkah di atas, lanjut Prianto, sejalan dengan Pasal 17 Peraturan Pemerintah No. 94/2010. Berdasarkan ketentuan tersebut, Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk menerbitkan peraturan yang dapat menetapkan saat pengakuan penghasilan dan biaya bagi Wajib Pajak karena ada perubahan PSAK.

Akan tetapi, ketentuan ini sepertinya belum pernah digunakan oleh otoritas pajak hingga saat ini.

Selanjutnya: Sri Mulyani ungkap kelemahan tata kelola keuangan Papua dan Papua Barat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×