Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Johana K.
KONTAN.CO.ID - Hingga saat ini Ditjen Pajak masih mencari cara agar pengumpulan pajak di sektor e-commerce bisa maksimal. Khususnya, bagi wajib pajak skala UMKM yang bergerak di sektor e-commerce. Sementara, pelaku e-commerce yang berkapasitas besar, rata-rata sudah cukup taat membayar pajak.
Direktur Eksekutif Center Indonesia of Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, potensinya dari sektor UMKM di e-commerce sendiri besar, tetapi aturan masih berprespektif konvensional. “Kami lihat ada switching bisnis konvensional. Ke depan akan besar, jadi jangan sampai jadi bom waktu,” ujarnya di Hotel Ayana, Jakarta, Selasa (29/8).
Omzetnya di e-commerce sendiri diakui Yustinus memang besar, tetapi perdebatannya masih jalan di tempat, seperti siapa yang memungut pajaknya, “Misalnya endorser, siapa yang pungut pajak dia?” katanya.
Oleh karena itu, menurut dia, dalam hal ini perlu insentif dan kemudahan untuk membayar pajak agar inisiatif mereka tidak mati. Ia mengatakan, pengusaha yang berperspektif digital cenderung malas daftar NPWP, isi berkas dan sebagainya, “Ketidakpraktisan ini sangat bertolak belakang dengan para pelaku e-commerce,” ucapnya.
Adapun, menurut Yustinus, definisi UMKM antara pajak dan Kemenkop UKM belum memiliki definisi yang tunggal. Oleh karena itu, kedua instansi ini seharusnya bisa bekerjasama.
“Ada 59 juta pelaku UMKM, harusnya ketahuan itu siapa dan bisa teregistrasi di Kemenkop dan DJP, problemnya di single id,” kata Yustinus.
Ia memperkirakan, total transaksi penjualan e-commerce saat ini sekitar Rp 150 triliun-Rp 200 triliun per tahun. Jika Ditjen Pajak tak mampu mengumpulkan pajak dari sektor ini, maka negara akan kehilangan potensi penerimaan pajak dari sisi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh), sebesar 10% dari total transaksi tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News