Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA.Hambalang sejatinya adalah nama sebuah desa di Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Nama Hambalang tiba-tiba menyeruak ketika pada Juli 2011, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin menyebutnya dalam pelarian di luar negeri setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi wisma atlet SEA Games di Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan.
Nazaruddin pun menggebu menuding bekas koleganya, mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang terlibat korupsi proyek Hambalang. Nilai proyek Hambalang memang jauh lebih besar daripada pembangunan wisma atlet. Proyek Hambalang menelan biaya Rp 2,5 triliun, sementara nilai proyek wisma atlet hanya Rp 191,67 miliar. Sejak itu, Hambalang mulai dikenal sebagai megaproyek yang dikorupsi.
Nazaruddin rupanya tak asal menuduh. Anas, kini, menjadi tersangka kasus Hambalang dan sejak Jumat (10/1) sore resmi ditahan di sel yang berada di basemen Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kerja sama bisnis antara Nazaruddin dan Anas rupanya terjalin sejak keduanya menjadi pimpinan Partai Demokrat. Nazaruddin dan Anas berkongsi di Grup Permai, sebuah induk perusahaan dengan banyak anak usaha. Perusahaan di bawah naungan Grup Permai ini belakangan diketahui banyak menggiring proyek-proyek APBN sejak dibahas di DPR, termasuk di dalamnya wisma atlet dan proyek Hambalang.
Menggiring proyek
Menggiring proyek berarti berusaha dengan segala cara, termasuk menyuap pihak yang berkepentingan, agar proyek tersebut dikerjakan oleh anak usaha Grup Permai, atau perusahaan lain yang tak berafiliasi dengan mereka, tetapi telah membayar fee.
Ini, misalnya, terjadi dalam proyek wisma atlet. Pemenang tender adalah PT Duta Graha Indah Tbk, tetapi setelah itu mereka membayar fee kepada Grup Permai melalui Direktur Marketing PT Anak Negeri (anak usaha Grup Permai) Mindo Rosalina Manulang dan Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga Wafid Muharram.
Itu pula yang dilakukan Nazaruddin dengan Grup Permai dalam proyek Hambalang. Nazaruddin dalam persidangannya mengungkapkan, dirinya bersama Anas ikut terlibat mengatur proyek Hambalang sejak awal. Dia menyebut Anas sejak awal ikut mengatur proyeknya. Dimulai dengan mendapatkan sertifikat lahan proyek yang selama tiga tahun bermasalah.
Nazaruddin mengungkapkan, pada Desember 2009, ia dan Angelina Sondakh dipanggil Anas untuk bertemu dengan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng. Pertemuan itu dilakukan untuk membicarakan proyek Hambalang. Dalam pembicaraan tersebut, disepakati Andi dan anggota Fraksi Partai Demokrat, Angelina Sondakh, bersama anggota Badan Anggaran DPR lainnya akan membuat anggaran khusus untuk proyek Hambalang.
Hasil pertemuan tersebut dilaporkan Nazaruddin kepada Anas. Nazaruddin juga menyebut Anas kemudian memerintahkannya memanggil anggota Komisi II DPR dari FPD, Ignatius Mulyono, untuk mengurus sertifikat tanah proyek Hambalang yang terbelit sengketa dengan meminta bantuan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto. Ignatius ditugaskan karena mitra kerja Komisi II salah satunya ialah BPN.
Belakangan, Ignatius mengakui dalam pertemuan di ruangan kerja Anas selaku Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR saat itu, atasannya di DPR tersebut memerintahkan agar dia mengurus sertifikat tanah Hambalang dengan menghubungi Kepala BPN Joyo Winoto. Setelah tiga minggu, sertifikat tanah proyek Hambalang jadi dan diserahkan Ignatius kepada Anas yang ditemani Nazaruddin.
Terima uang dan mobil
Dalam persidangan Nazaruddin pula, terungkap pertama kali soal pemberian mobil Toyota Harrier kepada Anas. Nazaruddin membeli Toyota Harrier melalui PT Pacific Putra Metropolitan, anak usaha PT Anugerah Nusantara yang juga bagian Grup Permai, di sebuah dealer mobil di Pecenongan, Jakarta Pusat, pada September 2009 seharga Rp 520 juta. Mobil itu kemudian diatasnamakan Anas dengan nomor polisi B 15 AUD.
Dalam pengembangan penyidikan, KPK menemukan bahwa Anas tak hanya diberi Toyota Harrier. Anas juga diduga menerima pemberian Toyota Vellfire. Dalam sidang, Nazaruddin pernah menunjukkan fotokopi buku kepemilikan kendaraan bermotor (BPKB) Toyota Alphard tahun pembuatan 2007 atas nama Anas. Fotokopi BPKB tersebut juga mencatat ada perubahan identitas kepemilikan Toyota Alphard dari sebelumnya dimiliki oleh PT Anugerah Nusantara menjadi milik Anas.
Rupanya, pengembangan penyidikan KPK juga tak hanya menemukan dugaan pemberian mobil. Anas diduga menerima uang dari PT Adhi Karya. Perusahaan BUMN ini menggelontorkan uang Rp 14,601 miliar untuk memenangkan pekerjaan fisik proyek Hambalang.
Sebagian uang tersebut Rp 6,925 miliar berasal dari PT Wijaya Karya, yang digandeng PT Adhi Karya dalam kerja sama operasi (KSO) proyek Hambalang. Dari uang Rp 14,601 miliar itu, sebagian diberikan kepada Anas Rp 2,21 miliar untuk membantu pencalonan sebagai ketua umum dalam Kongres Partai Demokrat tahun 2010.
KPK menyebut Anas juga menerima sesuatu dari proyek-proyek lain. Pengacara Anas sempat memprotes penggunaan frasa proyek-proyek lainnya itu. Ini pula yang membuat Anas mangkir saat hendak diperiksa sebagai tersangka, Selasa lalu.
Soal proyek-proyek lainnya ini, Anas diduga menerima pemberian sesuatu dari proyek PT Bio Farma. Dia juga diduga menerima sesuatu dari proyek Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jawa Timur. Bahkan, nilai pemberian dari proyek Hambalang terhitung paling kecil ketimbang pemberian dari proyek-proyek lain itu.
Selama ini Anas selalu mengelak terlibat dalam kasus korupsi proyek Hambalang. Dia bahkan sempat menantang dengan mengatakan, ”Satu rupiah saja Anas korupsi di Hambalang, gantung Anas di Monas.”
Bersalah atau tidaknya Anas, tinggal menunggu putusan hakim setelah melihat bukti yang dibeberkan jaksa KPK maupun sanggahannya oleh tim pengacara. Selama ini, KPK tak pernah gagal membuktikan kesalahan terdakwa. (KHAERUDIN/Kompas Cetak)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News