Reporter: Umar Idris | Editor: Umar Idris
JAKARTA. Kepemilikan asing di bank di Indonesia masih menjadi persoalan, antara lain, karena tidak ada perlakuan yang sama bagi bank nasional yang mau masuk di negara asal investor bank. Seperti di China, Singapura, dan Malaysia, tiga negara asal investor perbankan Indonesia.
Untuk mendapatkan perlakuan yang sama, bankir mengakui sangat sulit, sebab setiap bank sentral memiliki kedaulatannya sendiri. “Yang bisa kita lakukan adalah mengatur sendiri di sini. Kita bisa mengatur bank asing di sini,” kata Sigit Pramono, Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas).
Perbanas adalah asosiasi bank-bank umum nasional. Bank-bank asing menjadi anggota luar biasa Perbanas yang hadir dalam Kongres Perbanas, namun tidak memiliki hak suara dalam kongres.
Isu kepemilikan asing di perbankan Indonesia kembali muncul setelah Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan BI Nomor 14/ 8 /PBI/2012 tanggal 13 Juli 2012 tentang Kepemilikan Saham Bank Umum. Peraturan ini tidak mengubah peta perbankan Indonesia yang saat ini sebagian besar dikuasai asing.
Peraturan itu mengatur kepemilikan asing di saham bank nasional dengan mengaitkan tingkat kesehatan bank dan praktik Good Corporate Governance (GCG). Selama praktek GCG baik dan tingkat kesehatan bank baik, asing masih boleh menggenggam saham bank Indonesia hingga 99%. Maka tertutuplah harapan sebagian masyarakat yang ingin investor asing di bank nasional dibatasi.
Pendapat Perbanas, bank umum milik asing di Indonesia masih bisa diatur dengan dua cara. Pertama, kepemilikan mereka atas saham bank melalui perseroan terbatas atau badan hukum Indonesia. Saat ini semua investor asing hanya menjadikan bank yang dimiliki sebagai cabang dari kantor regional atau kantor pusatnya. Seharusnya kepemilikan atas saham mayoritas di bank di Indonesia dikukuhkan melalui sebuah perseroan terbatas atau badan hukum Indonesia. “Di banyak negara memang harus berbadan hukum negara tempat bank yang dibeli,” kata Sigit.
Namun proses untuk menjadi badan hukum Indonesia memerlukan masa transisi. “Masa transisinya yang cukup, tidak bisa mendadak,” kata Sigit yang enggan menyebutkan waktunya.
Cara kedua ialah menerapkan perizinan bertingkat bagi bank asing. Misalnya, jika bank milik investor asing ingin menambah usaha, menambah ATM, menambah cabang, dan sebagainya, maka bank itu perlu memiliki izin berbeda-beda. Dampaknya, tidak semua permohonan bank di wilayah tertentu itu akan diizinkan. “Bisa juga dengan persyaratan, Anda bisa membuka di Jakarta, tetapi perlu membangun cabang misalnya di Jayapura,” kata Sigit.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News