Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat (AS) dengan China kian panas. Hal ini diperkirakan akan berdampak pada kembali terjadinya defisit neraca perdagangan Indonesia.
Jumat (15/6) lalu, Presiden AS Donald Trump menjatuhkan tarif berat sampai 25% atas produk impor China bernilai US$ 50 miliar. Tarif yang berimbas pada 800 produk penting China ini, termasuk mobil, akan berlaku 6 Juli mendatang.
China pun diberitakan akan membalas dengan memberlakukan tarif yang sama beratnya dengan sikap AS, yang berdampak pada 659 produk AS. Produk impor dari AS yang dibidik sekitar 659 produk bernilai US$ 50 miliar.
Ekonom Institute Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, perang dagang tersebut berpotensi besar menghambat kinerja ekspor dalam negeri sehingga defisit neraca perdagangan kemungkinan akan kembali terjadi di semester kedua 2018. Sebab, AS dan China merupakan negara tujuan utama ekspor Indonesia.
Sepanjang 2017, ekspor nonmigas Indonesia ke China mencapai US$ 21,32 miliar atau 13,94% dari total ekspor nonmigas Indonesia. Jumlah itu tumbuh signifikan, mencapai 41,03% year on year (yoy). Sementara ekspor nonmigas Indonesia ke AS mencapai US$ 17,14 miliar atau 11,2% dari total eksppr nonmigas Indonesia. Jumlah itu juga tumbuh 9,29% yoy.
"Bulan Agustus-September masih berpotensi defisit US$ 500 juta-US$ 1 miliar. Ada tekanan juga dari defisit migas seiring harga minyak yang tak terprediksi," kata Bhima kepada Kontan.co.id belum lama ini. Sejak awal tahun hingga saat ini, neraca dagang Indonesia memang baru satu kali mencapai surplus pada Maret sebesar US$ 1,09 miliar.
Menurut Bhima, pemerintah harus segera mencari strategi untuk mengalihkan produk ekspor ke pasar lain. Sebab, beberapa komoditas strategis seperti CPO, tekstil, hingga karet akan terkena imbas. Di kuartal pertama 2018 saja, pertumbuhan ekspor CPO dan karet secara tahunan, jeblok. Pasar lain yang dimaksud, misalnya Afrika Bagian Tengah dan Selatan, Eropa Timur, Amerika Latin, Asia Tengah, dan Rusia.
Ia melanjutkan, Indonesia perlu bekerja keras untuk masuk ke pasar-pasar tersebut. Sebab selama ini permasalahan perdagangan Indonesia adalah tidak memiliki perjanjian dagang yang menyebabkan bea masuk mahal, biaya logistik yang belum efisien, dan atase perdagangan pasif sehingga market intelligence untuk data kebutuhan pasar masih lemah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News