Reporter: Grace Olivia | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan keterangan mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 kepada DPR, Kamis (4/7). Dalam keterangannya di Rapat Paripurna DPR, Menkeu melaporkan posisi keuangan pemerintah sesuai dengan neraca per 31 Desember 2018. Kementerian Keuangan (Kemkeu) mencatat total aset pemerintah sebesar Rp 6.325,3 triliun.
Aset tersebut lebih tinggi 6,3% jika dibandingkan dengan posisi 31 Desember 2017 yang sebesar Rp 5.947,8 triliun. “Tren peningkatan aset tersebut mencerminkan semakin baiknya kualitas pengelolaan fiskal, di mana belanja negara tidak hanya untuk belanja operasional, tetapi juga menghasilkan aset yang bermanfaat untuk pelayanan pemerintah kepada masyarakat,” kata Sri Mulyani.
Meski demikian, sebagian besar aset pemerintah tersebut terdiri dari kewajiban yang mencapai Rp 4.917,5 triliun. Posisi kewajiban pemerintah ini lebih besar dibandingkan akhir tahun 2017 yang sebesar Rp 4.407,1 triliun.
Sri Mulyani menyampaikan, peningkatan kewajiban tersebut berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang digunakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan prioritas. Termasuk pembangunan infrastruktur, perbaikan pendidikan, dan peningkatan kualitas kesehatan masyarakat serta peningkatan manfaat jaminan sosial.
Sepanjang 2018, pemerintah juga menarik utang melalui penerbitan SBN secara neto sebesar Rp 305,7 triliun.
Selain itu, Sri Mulyani mengatakan, penarikan utang pemerintah tetap terkendali dengan menjaga rasio utang tetap dalam kisaran aman yaitu 30% terhadap produk domestik bruto (PDB). Di sisi lain, peringkat utang Indonesia juga kembali disemat predikat investment grade oleh berbegai lembaga rating dunia.
“Peringkat tersebut mencerminkan adanya prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat, didukung dengan tingkat beban utang pemerintah yang relatif lebih ringan,” ujarnya.
Sementara dari sisi ekuitas, pemerintah melaporkan posisi ekuitas per 31 Desember sebesar Rp 1.407,8 triliun. Ekuitas pemerintah ini menurun 8,6% dari posisi ekuitas 31 Desember 2017 lalu yang sebesar Rp 1.540,8 triliun.
Sri Mulyani menjelaskan, penurunan ini terjadi lantaran tidak semua belanja pemerintah menjadi aset yang dapat divaluasi dan dikapitalisasi seperti aset bangunan infrastruktur.
“Banyak belanja modal yang dilakukan di daerah, misalnya, yang tidak terekam dalam LKPP. Banyak juga belanja pemerintah pusat yang dihibahkan ke daerah sehingga memang mencatatkan pengurangan di pemerintah pusat,” terangnya.
Menurut dia, belanja yang dialokasikan untuk “soft infrastructure” juga punya peran sangat penting untuk memperbaiki kualitas sumber daya manusia Indonesia. Belanja yang tidak dicatat menambah aset negara antara lain, belanja pendidikan, kesehatan, dan transfer ke daerah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News