Reporter: Agus Triyono | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Ruwetnya penyelenggaraan ibadah haji yang dilaksanakan oleh Kementerian Agama selama ini membuat DPR gerah.
Atas alasan itu, Komisi VIII DPR akhirnya berinisiatif untuk memperbaiki penyelenggaraan ibadah haji dan umroh dengan melakukan revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Dalam revisi ini, ada satu poin penting yang ingin diubah DPR, yaitu penyelenggara dan pelaksana ibadah haji dan umroh.
Dalam draft RUU Pengelolaan Ibadah Haji dan Penyelenggaraan Umroh yang didapatkan oleh KONTAN, DPR ingin penyelenggara haji dipengang oleh sebuah lembaga khusus pemerintah yang bernama Badan Haji dan Umroh Indonesia (BHUI).
Badan ini nantinya akan diberikan beberapa tugas. Beberapa di antaranya, sebagaimana tercantum dalam Ketentuan Umum No 14 RUU ini, melaksanakan pengelolaan ibadah haji dan umroh.
Tugas kedua, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ruu ini, menetapkan kuota nasional jemaah haji reguler, kuota jamaah haji khusus, dan kuota provinsi jamaah haji reguler.
Selain itu, BHUI juga diberi tugas untuk memberikan layanan katering, kesehatan, transportasi bagi jemaah selama pelaksanaan ibadah haji dan mengelola aset haji.
Setelah itu, mereka juga diwajibkan untuk mengevaluasi seluruh rangkaian penyelenggaraan ibadah haji dan melaporkannya ke presiden dan DPR.
Dalam RUU ini juga dijelaskan bahwa BHUI adalah lembaga pemerintah di bawah presiden dan bertanggung jawab langsung ke presiden. Kepala BHUI akan diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan masa jabatan lima tahun.
Mahrus Munir, Wakil Ketua Komisi VIII, mengatakan bahwa upaya revisi dan pemisahan yang dilakukan oleh DPR ini ditujukan untuk mengatasi permasalahan haji yang terjadi.
Sebagai catatan, pelaksanaan dan penyelenggaraan ibadah haji yang dilaksanakan oleh Kementerian Agama, khususnya dalam kaitannya dengan pengelolaan dana haji diduga bermasalah.
Berdasarkan hasil audit Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk pengelolaan dana haji periode 2004- 2012 saja misalnya ditemukan adanya transaksi mencurigakan sebesar Rp 230 miliar.
Selain itu, selama periode tersebut dana haji sebesar Rp 80 triliun dan dana imbal hasil haji sebesar Rp 2,3 triliun juga tidak jelas pengelolaannya. Mahrus berharap, dengan pemisahan tersebut permasalahan tersebut tidak terulang lagi.
"Poinnya jelas, regulator dan operator yang saat ini di Kementerian Agama dan selama ini kurang maksimal memang harus dipisah, kami ingin ada badan khusus agar ini tidak lagi menyita perhatian Kementerian Agama," katanya kepada KONTAN pekan ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News