Reporter: Dimas Andi | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah melalui dokumen Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM - PPKF) tahun 2025 mencantumkan rencana untuk melakukan intensifikasi kebijakan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT), salah satunya melalui penyederhanaan layer.
Akan tetapi, rencana penyederhanaan layer atau struktur tarif cukai rokok dinilai berpotensi menyuburkan rokok ilegal. Penyederhanaan tarif cukai ini dianggap akan membuat konsumen yang terbebani dengan kenaikan harga ini berpotensi lari ke pasar rokok ilegal.
Baca Juga: Larangan Penjualan Rokok Radius 200 Meter Bisa Hambat Usaha Ultramikro
Wawan Hermawan, Akademisi Universitas Padjajaran (Unpad) menilai, penyederhanaan tarif cukai akan membuat produsen besar mendominasi pasar, sehingga hanya rokok dengan harga yang relatif mahal saja yang akan tersedia di berbagai pasar.
Dia menyebut, harga rokok legal berkisar antara Rp 25.000--Rp 30.000 per bungkus atau jauh lebih mahal dibandingkan rokok ilegal yang Rp 10.000--Rp 15.000.
Disparitas harga yang cukup besar berpotensi menurunkan minat terhadap rokok legal, terutama bagi masyarakat menengah ke bawah.
Baca Juga: Bea Cukai Musnahkan 25 Juta Batang Rokok Ilegal, Nilainya Mencapai Rp 31,6 Miliar
"Jadi, merokok rokok legal menjadi suatu kemewahan bagi kalangan bawah atau 40% masyarakat dengan pendapatan terendah," ujar Wawan dalam keterangan resmi yang diterima Kontan.co.id, Sabtu (20/7).
Dengan adanya tekanan ekonomi yang dihadapi masyarakat, banyak perokok yang mencari alternatif lebih murah untuk tetap memenuhi kebiasaan mereka.
Kondisi ini pada akhirnya meningkatkan konsumsi rokok ilegal maupun sigaret kretek tangan (SKT). Apalagi, jumlah perokok di kalangan pendapatan rendah jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perokok di kalangan penghasilan menengah tinggi.
Baca Juga: Kemenkeu Kantongi Bea dan Cukai Rp 134,2 Triliun di Semester I-2024, Turun 0,9%
"Menurut saya, yang utama adalah harga rokok yang sangat tinggi relatif terhadap pendapatan masyarakat. Ini didorong oleh prevalensi merokok yang masih tinggi dan budaya rokok sebagai alat sosial di masyarakat. Selain itu, penegakan hukum terhadap produsen rokok juga masih lemah," ungkap Wawan.
Terkait data rokok ilegal, survei yang dilakukan oleh Indodata selama periode 13 Juli hingga 13 Agustus 2020 di 13 kota provinsi di Indonesia mengungkapkan bahwa 28,12% dari 2.500 responden di Indonesia mengonsumsi rokok ilegal.
Direktur Eksekutif Indodata Danis TS Wahidin menjelaskan, survei ini dilakukan untuk mengkaji hubungan antara tingginya cukai rokok resmi dan peredaran rokok ilegal.
Baca Juga: Produksi Rokok Bergeser, Kinerja Cukai Menurun
Dia menilai, kenaikan harga rokok mempengaruhi perilaku perokok, tapi tidak membuat perokok berhenti merokok.
"Yang terjadi adalah peralihan dari rokok premium ke rokok standar, bahkan masyarakat perokok itu berpindah menjadi mengonsumsi rokok ilegal," imbuh Danis.
Lebih lanjut, jika konsumsi rokok ilegal tersebut dikonversi dengan pendapatan negara yang hilang, angkanya dapat mencapai Rp 53,18 triliun.
Temuan ini menunjukkan bahwa peredaran rokok ilegal masih menjadi masalah serius yang memerlukan perhatian lebih dari pemerintah.
Baca Juga: Penerimaan Cukai Hasil Tembakau Diperkirakan akan Terus Turun hingga Akhir Tahun
Danis berpendapat, pemerintah perlu mempertimbangkan langkah-langkah komprehensif untuk mengatasi masalah tersebut, termasuk memberikan dukungan lebih kepada industri rokok rumahan serta memperketat pengawasan dan penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal.
"Hanya dengan pendekatan yang holistik dan inklusif, masalah ini dapat diatasi secara efektif demi kesejahteraan ekonomi dan kesehatan masyarakat," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News