kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.499.000   -40.000   -2,60%
  • USD/IDR 15.935   -60,00   -0,38%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

Penurunan Harga Komoditas Hingga Ancaman Stagflasi Hantui Penerimaan Pajak 2023


Senin, 12 Desember 2022 / 15:10 WIB
Penurunan Harga Komoditas Hingga Ancaman Stagflasi Hantui Penerimaan Pajak 2023
ILUSTRASI. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mengakui ada sejumlah tantangan yang dihadapi pemerintah dalam upaya mendulang penerimaan pajak di tahun depan.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mengakui ada sejumlah tantangan yang dihadapi pemerintah dalam upaya mendulang penerimaan pajak di tahun depan.

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan, tantangan pertama berasal dari tingginya basis pajak pada tahun ini. Tingginya basis pajak di tahun ini ditopang harga komoditas yang tinggi serta adanya kebijakan Undang-Undang Harmoniasi Peraturan dan Perpajakan (UU HPP) seperti Program Pengungkapan Sukarela (PPS).

"Kita mengumpulkan uang sebesar Rp 60 triliun. Ini salah satu kebijakan yang tidak bisa diulang tahun ini. Jadi kita akan kehilangan uang sebanyak itu di tahun 2023, tidak ada lagi uang yang berasal dari PPS," ujar Yon dalam acara International Tax Conference 2022, dikutip Senin (12/12).

Selain itu, Yon bilang, penurunan harga komoditas seperti crude palm oil (CPO) yang saat ini menjadi andalan ekspor akan menjadi tantangan pemerintah dalam mendulang penerimaan pajak di tahun depan. Pasalnya, Ditjen pajak melihat harga komoditas di tahun depan tidak akan setinggi di tahun ini.

Baca Juga: Ekonomi Membaik, Penerimaan Pajak Tahun 2022 Berhasil Lampui Target

Selain moderasi harga komoditas, Yon tak membantah bahwa faktor kondisi ekonomi dan politik global seperti perang Rusia-Ukraina, serta konflik antara China dan Taiwan, juga berpengaruh. Yon menyampaikan, kondisi tersebut telah menyebabkan sejumlah negara mengalami peningkatan inflasi yang memicu terjadinya risiko resesi dan stagflasi.

Selain itu, memanasnya geopolitik tersebut juga mengakibatkan peningkatan suku bunga global sehingga memicu arus modal keluar yang dapat menghambat pemulihan ekonomi Indonesia. Di sisi lain, kondisi tersebut juga menyebabkan terjadinya pelemahan permintaan terhadap produk ekspor Indonesia seperti tekstil, sehingga saat ini terlihat beberapa perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

"Ini menjadi masalah yang mungkin menjadi tantangan bagi kita di tahun depan," ungkap Yon.

Toh begitu, Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo masih optimistis bisa mengejar target penerimaan pajak sebesar Rp 1.718 triliun di tahun depan. Optimis tersebut juga bercermin dari penerimaan pajak yang masih menunjukkan kinerja positif meski dihantam pandemi Covid-19.

Bahkan, hingga selasa (6/12), penerimaan pajak telah mencapai hampir Rp 1.580 triliun. Artinya, penerimaan pajak yang telah dikumpulkan oleh pemerintah telah melebihi target yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) 98/2022 sebesar Rp 1.485 triliun. Untuk itu, pemerintah akan menjaga momentum pemulihan ekonomi nasional tetap berlanjut di tahun depan.

"Pajak itu sebetulnya efek dari aktivitas ekonomi. Ekonomi bagus, pajak justru lebih bagus. Jika ekonomi masih mengkerut, penghasilan enggak dapat ya gimana mau mengumpulkan pajak kecuali pajak konsumsi," ujar Suryo dalam acara Seminar Nasional: Tax Outlook 2023, Senin (12/12).

Baca Juga: Kapan Pajak Natura Berlaku? Ini Penjelasan Kemenkeu

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Kiat Cepat Baca Laporan Keuangan Untuk Penentuan Strategi dan Penetapan Target KPI Banking and Credit Analysis

[X]
×