Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Usaha pemerintah membangkitkan daya beli konsumen belum membuahkan hasil. Memasuki semester kedua tahun ini, daya beli konsumen masih dalam tren melemah. Salah satu indikatornya indeks penjualan ritel yang terus menyusut.
Bank Indonesia (BI), dalam Survei Penjualan Eceran (SPE), melaporkan penjualan eceran mengalami kontraksi pada Juli 2017. Indeks penjualan ritel (IPR) Juli 2017 sebesar 209,9 atau turun 3,3% year on year (yoy). Penurunan penjualan ritel terjadi baik di kelompok makanan maupun kelompok non makanan.
Namun menurut BI, penurunan penjualan pada Juli wajar terjadi karena bulan sebelumnya terjadi lonjakan akibat perayaan Lebaran. Masalahnya, pada Agustus 2017 diperkirakan masih terjadi penurunan penjualan secara bulanan. IPR Agustus diperkirakan hanya sebesar 208,2, turun 0,8% dari Juli.
Penurunan IPR karena penjualan sejumlah kelompok barang masih melemah. Kelompok makanan, minuman, dan tembakau mengalami penurunan IPR dari 221 ke 219, lalu perlengkapan rumah tangga lainnya turun dari 157,8 menjadi 154,3, barang budaya dan rekreasi berkurang dari 116,8 menjadi 115,8. Kemudian indeks penjualan kategori barang lainnya turun dari 146,7 menjadi 140,9 dan IPR sadang berkurang dari 154,5 menjadi 147,6.
Berdasarkan wilayah, penurunan penjualan ritel pada Agustus diperkirakan terjadi di Manado, Banjarmasin, Semarang, dan Medan. Responden memperkirakan penjualan eceran baru meningkat pada Oktober 2017. Kenaikan itu akan berlangsung setidaknya hingga Januari 2018, tercermin dari indeks ekspektasi penjualan (IEP) 3 bulan yang akan datang di level 127,9, lebih tinggi dibandingkan 123,1 pada bulan sebelumnya.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P Roeslani menyebut, daya beli konsumen susah bangkit. Soalnya, sejauh ini belum ada kebijakan pemerintah yang bisa mendorong tingkat konsumsi masyarakat. "Seharusnya ada kebijakan pemerintah berupa insentif pemacu daya beli, seperti pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN)," kata Rosan, belum lama ini.
Ekonom Institute for Developtment Economic and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira bilang, pelemahan penjualan hingga Agustus memang sudah terlihat dari kondisi indeks harga konsumen (IHK). IHK pada Agustus lalu mengalami deflasi 0,07. "Deflasi karena dorongan permintaan (demand pull inflation) masih lemah," ujar Bhima.
Pemulihan daya beli
Ke depan, Bhima meyakini tingkat penjualan eceran masih berpotensi meningkat. Alasannya, dari sisi permintaan masih ada kemungkinan tumbuh asalkan tidak ada penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, tarif listrik dan gas elpiji 3 kg. "Bisa pulih lagi di akhir tahun. Sebenarnya fenomena lebih ke delaying purchase. Cuma tertunda sebentar karena kemarin ada pencabutan subsidi listrik, confidence ekonomi turun," terang Bhima.
Selain itu, dia bilang, tanda-tanda kenaikan daya beli juga terlihat dari sisi eksternal. Harga komoditas non migas, seperti minyak kelapa sawit naik. "Ekspor naik, pendapatan petani sawit naik, daya beli akan naik," tandas Bhima.
Sedangkan Ekonom SKHA Institute for Global Competitiveness Eric Sugandi meyakini permintaan masyarakat masih bisa tumbuh dalam tiga dan enam bulan mendatang. Peningkatan permintaan merupakan periode musiman, yakni menjelang akhir tahun terjadi peningkatkan penjualan karena perayaan Natal dan Tahun Baru. "Secara nominal angkanya akan naik sampai akhir tahun," katanya.
Namun, Eric masih ragu apakah kenaikan penjualan eceran menjelang akhir tahun ini akan lebih besar dibandingkan tahun lalu atau tidak. Pasalnya, inflasi inti yang menggambarkan daya beli konsumen, sejauh ini masih lemah. Inflasi inti pada Januari-Agustus 2017 hanya 2,15%, padahal pada periode sama tahun lalu mencapai 2,25%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News