kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Pengusaha resah lantaran demo buruh marak


Rabu, 14 November 2012 / 15:22 WIB
Pengusaha resah lantaran demo buruh marak
ILUSTRASI. Nasi Tim Ayam. Nama ?Tim? berasal dari bahasa Inggris, yakni ?Steam? yang artinya dikukus. (Dok/Dapur Kobe)


Reporter: Sofyan Nur Hidayat, Amal Ihsan Hadian | Editor: Imanuel Alexander

Di mata pengusaha, industri dalam negeri sudah sulit bersaing dengan produk impor. Jika harus ditambah dengan kenaikan upah sesuai tuntutan buruh yang bisa mencapai 30% hingga 50%, industri akan semakin tidak punya daya saing.

Pabrik sepatu yang berlokasi di Purwakarta itu kini sepi. Tak banyak aktivitas yang terlihat di sana.Hanya ada beberapa petugas keamanan dalam perusahaan yang berjaga. Sementara di luar, puluhan buruh dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) masih menduduki areal pintu masuk pabrik. Sesekali mereka masih menggelar demo untuk menyampaikan tuntutannya.

Perusahaan sepatu asal Ceko, PT Sepatu Bata, memang sudah menghentikan operasional pabrik sejak 18 Oktober 2012. Buruh pabrik yang berjumlah 800 orang diliburkan tanpa pemberian upah. Penghentian pabrik terpaksa dilakukan setelah tak tercapai kesepakatan antara manajemen dan serikat pekerja terkait pengangkatan pegawai harian dan kontrak menjadi pegawai tetap pada perundingan yang digelar pada Jumat, 5 Oktober 2012.

Direktur PT Sepatu Bata Tbk, Fabio Bellino mengatakan, para buruh juga mengunci pintu gerbang pabrik dari luar. Alhasil, komponen sepatu tak dapat dipasok ke pabrik. Sepatu yang sudah jadi pun tak bisa dibawa ke luar pabrik untuk diekspor. “Kerugian yang terjadi mencapai US$ 700.000,” katanya.

Potensi kerugian perusahaan bisa lebih besar jika menghitung juga sepatu yang sudah jadi bisa berjamur atau rusak, kalau
tidak segera dikirim. Nilainya, kata Fabio, sekitar US$ 3 juta.

Terkait tuntutan pengangkatan karyawan tetap, perusahaan sebenarnya memberi persetujuan. Namun, jumlah pengangkatan disesuaikan dengan kebutuhan, yakni berkisar 50% hingga 70% dari pekerja kontrak yang saat ini ada. Sebaliknya, serikat menghendaki pengangkatan karyawan tetap ini 100% dari karyawan kontrak.

Tak hanya soal jumlah, serikat pekerja juga meminta pengangkatan dilakukan dalam tempo 1 x 24 jam pada Jumat, 5 Oktober 2012. Namun Fabio pun beralasan, perusahaan butuh waktu sekitar tiga bulan mengangkat pegawai tetap.

Penghentian pabrik ini mendapat respon serius dari prinsipal sepatu merek internasional itu. Fabio bilang, manajemen dan pemilik saham tengah membahas masalah ini di kantor regional Malaysia. Boleh jadi, jika pabrik di Indonesia tak menguntungkan, manajemen akan memindahkan pabrik Bata ke negara lain.

Selama ini pabrik sepatu Bata di Purwakarta memproduksi enam juta unit sepatu per tahun. Sepatu tersebut diekspor ke beberapa negara, seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Amerika Latin.

Fabio menegaskan, manajemen Bata siap mengoperasikan pabrik kembali jika bahan baku komponen sepatu bisa masuk dan sepatu yang sudah jadi bisa dikirim. Selain itu, ia berharap tak ada lagi intimidasi serikat buruh terhadap karyawan yang ingin bekerja.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Binsar Marpaung mengatakan, bukan hanya Bata yang terkena imbas dari demo buruh. Semua produsen sepatu merek internasional di Indonesia, seperti Nike, Puma, dan Adidas juga terganggu produksinya. “Di Indonesia, 70% sepatu yang diproduksi adalah jenis sepatu sport. Itu semua merek-merek internasional,” kata Binsar.

Jika demo buruh benar-benar mengganggu produksi, Binsar khawatir prinsipal merek-merek besar tersebut akan mengalihkan ordernya ke pabrik mereka di negara lain. Maklum, selain Indonesia, pabrik-pabrik pembuatan sepatu merek internasional juga terdapat di negara lain. Sebut saja, China dan Vietnam. Nah, jika order dialihkan ke negara lain, tak tertutup kemungkinan pabrik di Indonesia akan berkurang produksinya atau bahkan tutup.

Padahal, pada 2011 lalu, banyak relokasi pabrik sepatu dari China ke Indonesia. Mereka antara lain delapan investor yang membangun pabrik di Subang dan Purwakarta, Jawa Barat. Sebagian di antara pabrik sepatu itu ada yang sudah siap produksi, ada pula yang baru tahap membeli tanah. Sayangnya, kondisi seperti sekarang, Binsar bilang, bisa mempengaruhi para investor menunda investasinya. Pabrik yang sudah jadi juga tidak kunjung beroperasi.

Padahal, jika relokasi pabrik dari China itu lancar, potensi ekspor sepatu dari Indonesia tahun ini bisa mencapai US$ 5 miliar. Tapi dengan kondisi saat ini, bisa mengekspor sepatu minimal sama dengan realisasi tahun lalu saja (US$ 3,3 miliar) sudah bagus.

Aprisindo mencatat investasi sepatu pada tahun 2009 sebesar Rp 1,17 triliun, 2010 Rp 979 miliar, dan 2011 sebesar Rp 1,88 triliun. Tahun ini, investasi baru kemungkinan turun.

Penetapan upah

Demonstrasi buruh memang semakin marak belakangan ini. Bukan hanya terjadi pada industri sepatu, aksi buruh juga terlihat di perusahaan lain dari berbagai sektor industri.

Bisa jadi, pengusaha gerah dengan demo buruh belakangan ini. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan, aksi buruh sudah cukup meresahkan, karena kerap diikuti dengan tindakan kriminal seperti penyegelan, perusakan aset pabrik serta pemaksaan pekerja untuk ikut mogok.

Salah satunya terjadi di perusahaan yang memproduksi komponen elektronik PT JST Indonesia, di Cikarang Barat, Bekasi. Awal September lalu, buruh berdemonstrasi dan tidak mengizinkan 250 karyawan yang tengah bekerja di pabrik keluar pabrik selama tiga hari tiga malam.

Wakil Sekjen Apindo Franky Sibarani mengatakan, aksi buruh yang marak ini dimulai sejak demonstrasi buruh berhasil menutup jalan tol Cikarang, Bekasi pada Januari silam. Setelah itu, buruh berulang kali melakukan aksi demonstrasi. Salah satunya yang terbesar terjadi pada 3 Oktober 2012. “Di Bekasi, ada 150 perusahaan yang akhirnya menandatangani kesepakatan dengan buruh karena tertekan,” jelasnya.

Demo buruh juga menyebabkan kerugian bagi perusahaan karena harus berhenti berproduksi atau terlambat mengirim barang. Wakil Ketua Umum Apindo, Anton Supit memperkirakan, kerugian akibat demo buruh telah mencapai Rp 2 triliun.

Tak heran, sejumlah perusahaan asing pun mempertimbangkan untuk merelokasi pabriknya dari Indonesia, Selain masalah keamanan, menurut Sofjan Wanandi, Ketua Umum Apindo, ketidakpastian hukum terutama dalam proses penentuan upah minimum juga mendapat perhatian serius dari investor. Pasalnya, Pemerintah daerah kerap menentukan besaran upah minimum sesuai angka yang diajukan oleh demo buruh, bukan dari rekomendasi dewan pengupahan.

Sebagai contoh, upah minimum yang menurut Apindo ditetapkan berdasarkan tekanan dari pendemo terjadi di Kalimantan Timur. Besaran upah minimum provinsi (UMP) tahun 2013 naik 48,8% dari tahun sebelumnya, menjadi Rp 1,75 juta. Kejadian serupa juga terjadi di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Upah minimum kota (UMK) naik 35,7% menjadi Rp 1,2 juta. Menurut penilaian Sofjan, kenaikan upah minimum yang wajar seharusnya sesuai tingkat inflasi plus dua persen atau tiga persen. “Tapi, sekarang kenaikannya bisa 30% hingga 50%,” kata Sofjan.

Chatib Basri, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menambahkan, sebenarnya banyak perusahaan mampu membayar upah buruh sesuai UMP. “Cuma memang, ketika UMP naik, jangan naiknya langsung dua kali lipat atau tiga kali lipat. Itu jadi terasa berat,” ujarnya.

Kondisi ini tentu akan memberatkan perusahaan atau industri-industri tertentu. Salah satunya, perusahaan yang masih menyandang status Usaha Kecil dan Menengah (UKM). “Harus ada pengecualian, karena mereka tidak mampu membayar sesuai UMK,” tuturnya.

Selain itu, industri padat karya juga perlu mendapat pengecualian. Sektor industri yang memiliki tenaga kerja sangat banyak di antaranya garmen dan sepatu. Asal tahu saja, industri garmen menyerap tenaga kerja hingga 2,5 juta orang dan sepatu 500.000 orang. Nah, kalau kenaikan UMK sampai Rp 300.000 per orang, maka untuk dua sektor industri itu saja, perusahaan harus menambah biaya buruh Rp 900 miliar per bulan. “Kami tak mampu bayar sebesar itu,” kata Sofjan.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan, di sektor garmen, upah buruh merupakan 15% dari total biaya produksi perusahaan. Sedangkan, menurut Ketua Dewan Pembina Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Haryanto, bagi industri sepatu, gaji karyawan merupakan 25% dari total biaya produksi. “Biaya buruh sektor industri sepatu sangat tinggi,” kata Haryanto.

Kondisi ini tentu berbeda bagi perusahaan besar, di luar garmen dan sepatu. “Mereka pasti akan mampu memenuhi besaran UMK yang ditetapkan pemerintah dan tidak akan meminta toleransi,” jelas Sofjan.

Selain itu, Ade menambahkan, upah minimum yang ditentukan dari demo buruh tidak akan memberikan kesejahteraan bagi buruh. Justru sebaliknya, dampaknya banyak perusahaan menutup produksinya. “Saya percaya kesejahteraan buruh bisa timbul jika ada job opportunity dan bisa mengurangi pengangguran,” katanya.

Ade memberikan contoh, upah minimum di China pada tahun 1990-an hanya setengah dari upah minimum di Indonesia. Namun, saat ini, tingkat upah di sana sudah berubah menjadi empat kali lipatnya. Itu terjadi lantaran pemerintah China mampu mengelola investasi dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya yang berjumlah 1,3 miliar jiwa.

Tuntutan buruh lain yang paling populer saat ini adalah penghapusan tenaga kerja alih daya (outsourcing). Ade menjelaskan, jika ingin menghapus pekerja alih daya, harus ada revisi UU Nomor 13/2003 yang masih mengizinkan adanya tenaga alih daya yang bukan bisnis utama. Sistem itu juga dianut oleh negara maju di dunia seperti Jepang, Amerika Serikat dan China. “Bisa saja outsourcing dihapus, tapi industri jadi tidak kompetitif,” kata Ade. Kalau mau adem, memang harus saling memahami.

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 07 - XVII, 2012 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×