Reporter: Ahmad Febrian | Editor: Ahmad Febrian
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengobatan penyakit pernapasan akibat polusi udara menyebabkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengeluarkan biaya sampai triliunan rupiah.
Asisten Deputi Bidang Manajemen Utilisasi BPJS Kesehatan, Adian Fitria mengatakan, pada tahun 2023 penyakit pernapasan masuk ke dalam 10 besar biaya pengobatan tertinggi yang dicakup oleh BPJS Kesehatan. Biaya tersebut mencakup rawat inap maupun jalan. ”Untuk rawat jalan penyakit pernapasan, ada 1,1 juta kasus, total pembiayaannya Rp 431 miliar. Sedangkan biaya rawat inap pada kasus pernapasan cukup tinggi, yaitu Rp 13,3 triliun untuk 1,7 juta kasus,” ujar Adian, dalam keterangannya, Senin (15/7).
Angka penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) menunjukkan tren kenaikan nasional. Kassus rawat jalan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) seperti puskesmas dan klinik, sebanyak 3,5 juta orang mengidap ISPA atau 10,4% lebih tinggi dibandingkan tahun 2022.
Data BPJS Kesehatan dari fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL) mencatat tren kenaikan kasus di tingkat nasional, terlebih lagi setelah pandemi Covid-19. Untuk angka rawat jalan, rata-rata biaya sebelum pandemi senilai Rp32,9 miliar dengan 159.251 kasus. Sementara, pascapandemi angkanya meningkat menjadi Rp 45,2 miliar dengan total 210.291 kasus.
Baca Juga: Mengenal Asma, Penyakit Paru Kronis yang Bisa Dikendalikan
Data penderita ISPA di Jakarta pada lebih tinggi dibanding Bandung dan Surabaya. Mengambil data FKRTL puncak kasus ISPA di tiga kota, angka rawat jalan dan rawat inap di Jakarta masing-masing dapat mencapai Rp 4,7 miliar untuk 19.254 kasus dan Rp 16,1 miliar untuk 4.858 kasus.
Kata dia, Bandung mencatat Rp1 miliar untuk 4.186 kasus dan Rp3,9 miliar untuk 915 kasus. Sementara itu, Surabaya menembus Rp1,5 miliar untuk 7.225 kasus serta Rp6,7 miliar dan 2.182 kasus.
“Bila disandingkan dengan data kadar polusi udara, data kami menunjukkan peningkatan perawatan peserta jaminan kesehatan nasional akibat ISPA. Kami mengambil ISPA karena secara jangka pendek, polutan-polutan ini dapat meningkatkan risiko gangguan pernapasan,” jelas Adian.
Ketua Tim Kerja Analisis Data Pusdatin Kementerian Kesehatan, Farida Sibuea mengatakan, data Kemenkes juga menunjukkan adanya peningkatan penderita ISPA pada tahun 2022 dan 2023. Namun, dia mengingatkan agar ada penelitian lebih lanjut untuk mendalami hubungan polusi udara dengan penyakit pernapasan.
Kepala Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC-UI), Budi Haryanto mengungkapkan, timnya sedang melakukan analisis literatur atas 5.600 riset tentang hubungan polusi udara dengan penyakit pernapasan dari seluruh dunia. Dia berharap, temuan riset ini dan hasil lokakarya dapat menjadi salah satu langkah bagi K/L untuk bersama-sama memahami masalah penyakit pernapasan.
“Dengan data yang bisa digabungkan ini, nanti kita bisa buat model prediksi. Misalnya, berapa persen penyakit terkait polusi udara akan bertambah saat terjadi peningkatan konsentrasi particulate matter (PM)2,5,” kata Budi. Menurut dia, upaya awal model ini sudah dilakukan oleh RCCC-UI dengan Bappenas pada 2022.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News