Reporter: Amailia Putri Hasniawati | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampuan Pajak masih belum final.
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih belum ada kata sepakat terkait beberapa hal.
Salah satu poin yang krusial adalah mengenai cakupan pengampunan.
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak tetap ingin amnesti seputar pelanggaran di bidang perpajakan.
Namun, ada kabar DPR menginginkan klausul pengampunan bisa dilakukan pada tindak pidana tertentu di luar pajak.
Hal ini menjadi alasan mengapa belakangan beleid dinamakan RUU Pengampunan Nasional.
Yustinus Prastowo, pengamat perpajakan dari Center Indonesia Taxation for Analysis (CITA) berpendapat, seharusnya ruang lingkup pengampunan hanya dibatasi pada pelanggaran pajak.
Pasalnya, jika wewenang Ditjen Pajak diperluas, maka hal ini akan mendistorsi kewenangan aparat hukum lain.
"Ini bisa menutup pintu penegak hukum lain untuk melakukan law enforcement," ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut Yustinus, sebaiknya wewenang Ditjen Pajak tidak diperluas.
Asal tahu saja, awalnya RUU pengampunan pajak ini merupakan inisiatif pemerintah.
Ketika itu, Ditjen Pajak mengusulkan adanya special amnesty.
Maka itu, muncul RUU Pengampunan Nasional yang memiliki wilayah cakupan lebih luas kepada wasit perpajakan ini.
Tetapi, kemudian timbul pro kontra.
Akhirnya, RUU ini diambilalih dan menjadi inisiatif DPR.
Poin lain yang menjadi sorotan adalah belum diaturnya ketentuan yang mewajibkan wajib pajak menarik aset-aset dari luar negeri ke dalam negeri.
Sehingga, adanya kebijakan tax amnesty bisa berdampak positif terhadap perekonomian dalam negeri.
Lalu, terkait tarif uang tebusan, sebaiknya dibedakan antara wajib pajak yang selama ini sudah terdaftar dan melakukan pelaporan dengan yang belum.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News