Reporter: Amailia Putri Hasniawati | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih menggodok draf final Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait pengampunan pajak (tax amnesty).
Sebelumnya, draf ini bernama RUU pengampunan nasional.
Sigit Priadi Pramudito, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak mengatakan, usulan dari pemerintah tidak berubah.
Ditjen Pajak hanya memberikan pengampunan di bidang pajak.
"Kami tidak punya wewenang melakukan amnesty tindak pidana umum," ujarnya, Senin (12/10).
Namun, usulan dari DPR, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak bisa melakukan tindak pidana di luar pajak.
Seperti yang tertuang dalam pasal I RUU Pengampunan Nasional.
Ruang lingkup pengampunan nasional meliputi penghapusan pajak terutang, penghapusan sanksi administrasi perpajakan, penghapusan sanksi pidana pajak, serta sanksi pidana tertentu dengan membayar uang tebusan.
Kemudian, di pasal 10 dijelaskan, selain memperoleh pengampunan pajak, wajib pajak juga bisa mendapat pengampunan di bidang tindak pidana terkait perolehan kekayaan tertentu.
Adapun, tindak pidana yang dikecualikan adalah tindak pidana teroris, narkoba, dan perdagangan manusia.
Namun, Sigit bilang, pasal tersebut sudah dihapus.
Dalam beleid ini juga termaktub ketentuan, data pajak tidak bisa digunakan bukti tindak pidana umum lainnya.
Awalnya, pengampunan pajak ini baru mulai dilakukan pada 2017 mendatang.
Namun, pihak DPR minta kebijakan tersebut dipercepat agar bisa segera menutup kekurangan penerimaan pajak.
Sehingga, targetnya penerapan tax amnesty sudah bisa diberlakukan tahun depan.
Terkait data wajib pajak yang akan digunakan untuk memberikan pengampunan, Ditjen Pajak hanya akan mengandalkan informasi yang dilaporkan wajib pajak yang bersangkutan.
Menurut Sigit, pada 2018, data yang tergolong rahasia bank sudah bisa buka untuk kepentingan pajak.
Hal ini buntut dari kesepakatan Indonesia yang menjadi anggota G20 dan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2013 lalu.
Mereka sepakat untuk bertukar informasi demi kepentingan pajak, termasuk informasi perbankan.
"Kalau mereka tidak lapor (sesuai dengan jumlah aset sebenarnya) dan kami temukan buktinya, mereka akan kena tarif umum sebesar 25%," tutur Sigit.
Adapun, dalam RUU pengampunan nasional, tarif uang tebusan bervariasi, mulai dari 3%, 5%, hingga 8% dari nilai harta yang dilaporkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News