CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.470.000   4.000   0,27%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

Pengamat: Tanpa tes terstandar dan bukti ilmiah, penerapan new normal masih berisiko


Selasa, 26 Mei 2020 / 20:01 WIB
Pengamat: Tanpa tes terstandar dan bukti ilmiah, penerapan new normal masih berisiko
ILUSTRASI. Warga melintasi sebuah mural bertuliskan The New Normal?di Tangerang


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Skenario normal baru (new normal) dalam menghadapi pandemi virus corona (Covid-19) yang tengah disiapkan pemerintah dinilai masih prematur dan terlalu berisiko. Sebab, penyebaran Covid-19 masih belum bisa tertangani dan masih terus bertambah.

Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengingatkan, dalam merancang maupun menerapkan kebijakan di tengah masa pandemi, pemerintah seharusnya berdasar pada bukti ilmiah atau scientific evidence. Dalam hal ini, sesuai standar WHO, semestinya pemerintah menjalankan 10.000 tes uji positif Covid-19 per 1 juta penduduk.

Dia menegaskan, pengambilan kebijakan harus merujuk pada tes yang standar tersebut sebagai acuan dalam pengendalian Covid-19.

Baca Juga: Ada new normal, begini dampaknya ke IHSG

"Ini adalah pandemi, ketika mau mengambil kebijakan harus ada dasar scientific evidence. Bukti yang digunakan di seluruh dunia adalah 10.000 tes per 1 juta penduduk. Kami belum sampai ke sana. Paling banyak 4.000, kemarin di bawah 1.000, hari ini nggak tahu berapa. Jadi apa dasarnya?" kata Agus saat ditanya Kontan.co.id, Selasa (26/5).

Agus berpandangan, jika tidak didasarkan pada bukti ilmiah, maka pemerintah ibarat tengah melakukan perjudian (gambling). Ia pun menekankan, pemerintah seharusnya terlebih dulu memprioritaskan kesehatan. Jika tidak, maka risiko bagi kehidupan masyarakat maupun perekonomian akan semakin besar dan menemui ketidakpastian.

"Urus dulu pandeminya, bagaimana cara meminimalisasi. Setelah itu harus mikir ekonomi, karena orang harus hidup. Kalau main dua kaki risikonya besar, apalagi dasar saintific-nya tidak ada. Kalau tambah sakit, ekonomi nyesek. kalau diambil silakan saja terserah pemerintah, tapi itu namanya gambling dan risikonya sangat besar.," sebut Agus.



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×