Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pajak saat ini dinilai sebagai sebuah instrumen penting dalam jalannya sebuah pemerintahan dan tulang punggung keberlangsungan sebuah negara.
Pungutan pajak merupakan sumber utama penerimaan sebuah negara. Pengamat pajak Hadi Poernomo menilai pungutan pajak menjadi salah satu sumber utama penerimaan negara dalam APBN.
Namun, ia bilang dalam kurun waktu 12 tahun terakhir Indonesia tidak pernah mencapai target penerimaan pajak. Padahal jika dilihat GDP Indonesia terus mengalami peningkatan.
Mengutip Lawrence M. Friedman, dia bilang penentu efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni substansi hukum (substance of the law), struktur hukum (structure of law), dan budaya hukum (legal culture).
Baca Juga: Perusahaan swasta resmi mengelola Pelabuhan Anggrek Gorontalo
Dalam dunia perpajakan, lanjut dia, substansi hukum, khususnya hukum perpajakan di Indonesia diatur secara lengkap mulai dari konstitusi dalam UUD 1945 sampai dengan peraturan menteri sebagai bagian politik hukum implementatifnya. Dimana, Hadi bilang Direktorat Jendral Pajak (DJP) menjalankan 14 regulasi setingkat konstitusi dan undang-undang.
Semua UU tersebut memberikan kewenangan atributif kepada DJP. Dengan payung hukum UUD NRI 1945, mengemban amanat dua belas undang-undang dan satu UU APBN yang menetapkan target penerimaan dalam satu tahun, ini tugas berat yang memerlukan kelembagaan yang kuat dan memadai.
Sedangkan struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum yang menjalankan substansi hukum tersebut. Berbicara mengenai struktur hukum perpajakan, otoritas perpajakan merupakan wakil negara dalam pemungutan pajak atau penerimaan.
Di sisi lain untuk mengikuti ide reformasi kelembagaan dan perpajakan, maka diperlukan sebuah lembaga sui generis yang melaksanakan bank data perpajakan tersebut dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. "Semakin lengkap kewenangan otoritas pajak, diharapkan semakin baik sistem perpajakan sebuah negara," kata dia dalam keterangannya, Selasa (28/9).
Baca Juga: Pesawat Citilink mendarat darurat pasca seorang anak lepas penutup tuas pintu darurat
Sementara dalam UU KUP, pengelolaan bank data perpajakan yang merupakan rumah yang teramat besar dengan mengelola data dan informasi dari seluruh instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak-pihak lain (ILAP) dalam bentuk PP.
Namun PP tersebut tidak terbentuk, sampai akhirnya Ketua BPK pada tanggal 1 Juni 2011 memberikan usul dan saran. Setelah diminta pendapat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Dia bilang pemerintah akhirnya menerbitkan PP Nomor 31 Tahun 2012 pada 27 Februari 2012 tentang Pemberian dan Penghimpunan Data dan Informasi yang Berkaitan dengan Perpajakan. PP yang telah terbentuk tersebut tidak serta merta dapat dijalankan.
Inkonsistensi pengaturan yang tidak selaras dengan UU diduga menjadi penyebab utama “nyawa” Pasal 35A UU Nomor 28 Tahun 2007 tidak dapat hidup.
Reformasi struktur kelembagaan DJP tersebut kemudian diungkapkan lagi oleh Joko Widodo dalam visi mengenai reformasi perpajakan pada saat sebelum menjabat sebagai Presiden, yaitu sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Konsisten dengan ide yang dilontarkan Jokowi dan Jusuf Kalla dalam janji kampanye mereka, hal tersebut kemudian dituangkan dalam Nawa Cita Jokowi Jusuf Kalla 2014.
Terkait hal ini, ia menilai DJP harus berada langsung di bawah presiden dikarenakan sejalan dengan UU Nomor 28 Tahun 2003, Pasal 35A UU Nomor 28 Tahun 2007, Pasal 95 ayat 2 RUU KUP 2016, Perpres Nomor 2 Tahun 2015 mengenai RPJMN 2015 s/d 2019, Nawa Cita serta 14 UU yang memberikan kewenangan atributif kepada DJP.
Selanjutnya: Alokasi anggaran Rp 5,5 triliun, PUPR lanjutkan rehabilitasi jaringan irigasi Jabar
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News