Sumber: Kompas.com | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Pengamat komunikasi politik Universitas Indonesia (UI), Effendi Gazali, menilai moratorium iklan kampanye dan iklan politik lemah secara hukum. Surat kesepakatan bersama (SKB) tentang kepatuhan ketentuan pelaksanaan kampanye melalui media penyiaran dapat dengan mudah dilanggar kapan saja.
"Secara hukum, moratorium bisa dilanggar kapan saja karena pasti akan kandas kalau dibawa ke pengadilan," ujar Effendi di Jakarta, Sabtu (1/3).
Ia mengatakan, ada perbedaan persepsi definisi iklan kampanye antara SKB dengan Undang-Undang Pemilu Legislatif yang disusun DPR. Menurutnya, Gugus Tugas Pengawasan dan Pemantauan Pemberitaan, Penyiaran, dan Iklan Kampanye Pemilu Legislatif menilai, sebuah iklan politik yang hanya menyampaikan salah satu unsur kampanye saja sudah merupakan bentuk iklan kampanye.
"Sedangkan DPR punya perasaan tersendiri terhadap makna iklan dan kampanye, yaitu harus kumulatif, ada visi, misi, dan program," kata Effendi.
Meski demikian, dia menilai moratorium iklan politik yang diperintahkan SKB dapat menegakkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menegakkan UU Penyiaran. "Karena mengatur penggunaan ranah publik. SKB itu sesuai perasaan sosiologis, perasaan psikologis, dan rasa keadilan publik," katanya.
Sebelumnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan Komisi Informasi Pusat (KIP) menandatangani SKB tentang kepatuhan ketentuan pelaksanaan kampanye melalui media penyiaran. Selain menetapkan moratorium iklan politik dan kampanye, SKB itu juga mewajibkan lembaga penyiaran dan peserta pemilu menaati batas maksimum iklan kampanye.
Dalam SKB, gugus tugas juga melarang lembaga penyiaran pemberitaan, rekam jejak atau program yang mengandung unsur kampanye, iklan kampanye, dan hasil survei atau jajak pendapat tentang elektabilitas peserta pemilu. (Deytri Robekka Aritonang)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News