Reporter: Ratih Waseso | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengamat BUMN Toto Pranoto menilai, pengadilan harus transparan dalam mengadili Mantan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Karen Agustiawan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Karen Agustiawan sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan liquified natural gas (LNG) pada PT Pertamina tahun 2011 - 2021.
"Saya berharap pengadilan bisa dilakukan secara transparan, sehingga keputusan hukum sesuai fakta yang ditemukan di lapangan. Ini untuk mengurangi rasa takut top leader BUMN atas aksi korporasi yang mereka akan jalankan," kata Toto kepada Kontan.co.id, Kamis (21/9).
Baca Juga: Pertamina Hormati Proses Hukum di KPK Terkait Dugaan Korupsi Pengadaan LNG
KPK menyatakan, Karen mengeluarkan kebijakan pembelian LNG tanpa ada kajian secara menyeluruh. Namun, Karen menyebutkan bahwa pengadaan LNG merupakan aksi korporasi.
Mengenai hal tersebut Toto menjelaskan, dalam prinsip business judgment rules (BJR) harus ditegakkan untuk menilai aksi korporasi BUMN.
Toto melanjutkan, intinya apabila corporate actions (aksi korporasi) BUMN sudah mempertimbangkan tiga hal yakni studi komprehensif atas proyek tersebut. Kemudian tidak ada conflict of interest dan sudah dilakukan upaya optimal untuk risk mitigation.
Maka apabila terjadi kerugian atas aksi korporasi tersebut dan prinsip business judgement rule sudah dijalankan sepenuhnya , maka kerugian tadi kata Toto dianggap sebagai risiko bisnis perusahaan. Akan tetapi jika kriteria BJR dilanggar maka otomatis aksi korporasi tersebut bisa masuk ranah pidana.
"Namun apabila ada kriteria BJR yang dilanggar maka kerugian tadi bisa masuk ke ranah pidana. Jadi kasus ini harus diteropong dengan jernih," jelasnya.
Menurutnya, alasan bukti hukum yang disampaikan KPK untuk terdakwa Karen Agustiawan masih harus di uji di pengadilan.
Baca Juga: Eks Bos Pertamina Karen Agustiawan Tersangka Korupsi LNG, Jadi Dirut Harta Naik 16X
Berkaca pada hal tersebut, Toto mengatakan, umumnya BUMN punya masalah Good Corporate Governance (GCG) karena banyaknya intervensi pihak luar.
Terlebih BUMN yang belum berstatus perusahaan terbuka (Tbk). Maka salah satu untuk meningkatkan GCG BUMN ialah dengan mendorong BUMN bisa berstatus terbuka.
"Jadi akan lebih bagus ke depan apabila BUMN lebih banyak berstatus Tbk untuk mencegah intervensi yang tidak diperlukan," ujarnya.
Pasalnya, dengan berstatus terbuka maka prinsip transparansi, akuntabilitas dan fairness dari korporasi bisa dilihat publik dengan jelas.
"Jadi bisa meminimalisir risiko intervensi yang kerap terjadi di BUMN," imbuhnya.
Selain mendorong BUMN berstatus Tbk, alternatif perbaikan GCG ialah dengan perbaikan kualitas dari dewan komisaris/dewas BUMN.
Kedua perbaikan atau standarisasi layanan BUMN melalui pelayanan digital untuk mengurangi interaksi physical. Terakhir law enforcement yang harus diperkuat, sehingga ada efek jera terhadap pelanggar hukum di kalangan BUMN.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News