Reporter: Handoyo | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Pemerintah sedang mencari cara untuk meredam lonjakan harga tanah. Salah satu yang sedang disiapkan adalah mengatur batasan waktu kepemilikan tanah yang ditelantarkan.
Pelaksana tugas (Plt) Dirjen Tata Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) Budi Situmorang bilang, pemerintah kesulitan melakukan intervensi terhadap harga jual tanah pada saat ini. Sebab proses jual beli tanah didasarkan mekanisme pasar.
Dengan kondisi itu, pemerintah juga tidak bisa memberi hukuman kepada penjual atau pembeli tanah, walau harganya naik tiga sampai empat kali lipat dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Lonjakan harga hampir terjadi di seluruh daerah.
Kenaikan harga tertinggi tentu saja berada di kota-kota besar seperti DKI Jakarta dan Bandung, Jawa Barat. Akibatnya pembangunan infrastruktur terhambat dan harga rumah semakin tak terjangkau.
Berdayakan Perumnas
Budi mengatakan, salah satu kajian untuk meredam lonjakan harga tanah adalah dengan menghubungkan hak kepemilikan tanah dengan membuat neraca tanah dan manfaat atas tanah yang dimililikinya. Hasil neraca itu akan dipakai untuk menentukan patokan harga pembelian tanah di lokasi tertentu. Tapi Budi belum mau menjelaskan detil acuan baru tersebut.
Pemerintah kini juga sedang mempersiapkan payung hukum yang bisa membatasi kepemilikan tanah yang diterlantarkan. Sebab selama ini banyak tanah kosong terlantar yang sengaja tidak dibangun lebih dari 10 tahun. "Menteri berhak menarik hak atas tanah tersebut," ujar Budi, Selasa (24/8).
Dirjen Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera) Syarif Burhanudin mengatakan, ada tiga acuan dalam menentukan harga tanah, yakni NJOP, harga acuan pemerintah daerah (Pemda), dan harga pasar. Dari tiga acuan itu, harga pasar tetap yang paling kuat.
Menurut Syarif, salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk menekan harga tanah adalah dengan memberdayakan perusahaan negara penyedia perumahan seperti PT Perumahan Nasional (Perumnas). Perusahaan pelat merah ini dapat difungsikan sebagai pengelola properti dan land banking.
Apalagi Perumnas telah mendapatkan suntikan modal negara (PMN) hingga Rp 1 triliun. Dengan dana tersebut, Perumnas dapat membebaskan lahan yang cukup luas untuk proyek strategis sehingga menghindari spekulan.
Menteri PU-Pera Basuki Hadimuljono mengakui, kenaikan harga tanah membuat proyek 1 juta rumah semakin dibutuhkan. Dengan kondisi ekonomi yang melambat, proyek ini diharapkan bisa menggerakkan sektor lain. "Kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah tetap tinggi," kata Basuki.
Meskipun begitu, harga properti residensial saat ini secara umum melambat mengikuti pelambatan ekonomi Indonesia. Ini terlihat dari survei Bank Indonesia (BI). Dalam survei itu tercatat, pelambatan ekonomi telah membuat laju pertumbuhan indeks harga properti residensial triwulan II 2015 melambat 1,38% dari kuartal sebelumnya (qtq) atau 5,95% dari periode yang sama tahun 2014.
Pelambatan laju kenaikan harga rumah terjadi di semua tipe rumah, kecuali tipe kecil. Harga rumah tipe kecil ini masih mampu naik 2,6% (qtq) dari triwulan sebelumnya yang sebesar 1,98%. Pelemahan ekonomi juga membuat laju penjualan properti turun dari 26,6% di triwulan I menjadi 10,8% di triwulan II 2015. Perlambatan harga rumah berlanjut di triwulan III ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News