kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Pemerintah Diminta Tidak Terburu-Buru Naikkan Harga Energi Subsidi dan Non Subsidi


Selasa, 15 Februari 2022 / 16:59 WIB
Pemerintah Diminta Tidak Terburu-Buru Naikkan Harga Energi Subsidi dan Non Subsidi
ILUSTRASI. Pengendara mengisi bahan bakar minyak di SPBU Pertamina, Jakarta, Minggu (2/5/2021). Pemerintah Diminta Tidak Terburu-Buru Naikkan Harga Energi Subsidi dan Non Subsidi.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan, berkaitan dengan booming harga komoditas, menurutnya pemerintah tidak terburu-buru dalam menaikkan harga energi baik non subsidi maupun jenis subsidi.

Jika bercermin pada tahun 2020 lalu, ketika harga minyak mentah sempat mengalami penurunan hingga di bawah US$ 10 per barel, pada saat itu harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak mengalami perubahan. Dengan begitu Pertamina mendapatkan keuntungan yang cukup besar.

“Jadi kalau sekarang harga minyak mentahnya naik, sebaiknya Pertamina gunakan laba di 2020 untuk mempertahankan harga BBM. Kalau beban keuangan BUMN nya meningkat, maka Pemerintah bisa gunakan realokasi anggaran untuk menambah subsidi energi,” ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Selasa (15/2).

Lebih lanjut Bhima mengungkapkan, Pemerintah juga bisa mendapatkan windfall penerimaan negara dari kenaikan harga komoditas, bisa digunakan untuk subsidi silang ke stabilitas harga di dalam negeri.

Baca Juga: Persiapan ASEAN Summit 2023, PUPR Akan Bangun Jalan Sepanjang 25 Kilometer

Selain itu, alasan pemerintah tidak terburu-buru dalam menaikkan harga energi subsidi dan non subsidi adalah pemulihan daya beli masyarakat yang belum optimal dan merata khususnya di masyarakat yang rentan miskin.

“Pengendalian inflasi berarti mencegah kembali naiknya jumlah orang miskin baru,” kata Bhima.

Dihubungin terpisah, Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman juga memberikan tanggapannya. Menurutnya, kasus covid-19 varian omicron yang masih tinggi, Pemerintah sudah cukup tepat untuk menahan harga energi golongan subsidi. Hal ini perlu dilakukan guna menjaga daya beli di tengah proses pemulihan ekonomi domestik yang terus berlanjut.

Baca Juga: Dibuka Lagi Progam Pengungkapan Sukarela Pajak, Bisa untuk WP Pribadi atau Badan

“Kemungkinan memang separuh pertama 2022 Pemerintah masih akan melanjutkan kebijakan ini, mungkin separuh kedua 2022 pemerintah bisa mempertimbangkan lagi, apakah kenaikan harga energi subsidi perlu dilakukan,” kata Faisal

Senada dengan Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet.

Baca Juga: Danareksa Research Institute Proyeksikan Ekonomi Kuartal IV-2021 Tumbuh 4,62%

Menurutnya, Pemerintah perlu menahan terlebih dahulu rencana kenaikan harga energi subsidi dan nonsubsidi sampai level pemulihan ekonomi sudah kembali ke level pre-pandemi dan data penerima bantuan subsidi ini sudah siap.

“Menaikkan harga listrik, gas dan beberapa BBM berpotensi mendorong kenaikan inflasi menjadi lebih tinggi. Bahkan dengan konfigurasi demikian, inflasi berpotensi bergerak di batas atas proyeksi inflasi tahun ini (kisaran 4%),” kata Yusuf.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×