kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   -2.000   -0,13%
  • USD/IDR 15.875   5,00   0,03%
  • IDX 7.314   118,54   1,65%
  • KOMPAS100 1.121   16,95   1,53%
  • LQ45 892   14,50   1,65%
  • ISSI 223   2,40   1,09%
  • IDX30 459   10,01   2,23%
  • IDXHIDIV20 553   13,38   2,48%
  • IDX80 129   1,38   1,09%
  • IDXV30 137   2,73   2,03%
  • IDXQ30 152   3,22   2,16%

Pemerintah Diminta Perhatikan Substansi Revisi PP 109/2012


Senin, 01 Agustus 2022 / 14:51 WIB
Pemerintah Diminta Perhatikan Substansi Revisi PP 109/2012
ILUSTRASI. Ketua Umum FSP RTMM-SPSI Sudarto (dua kiri) bersama jajaran menanggapi revisi PP 109/2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat Adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah diminta memperhatikan substansi revisi PP nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Sebab, revisi yang tengah digodok pemerintah saat ini dan dibawa dalam sesi uji publik pada Rabu 27 Agustus 2022, dinilai masih memerlukan waktu dan diskusi yang panjang sebelum ditetapkan.

Pakar HAM Muhammad Nurkhoiron mengatakan, salah satu alasan utama diperlukan unsur kehati-hatian dalam pengesahan revisi tersebut karena cakupan revisi dengan substansi yang terlalu luas.

Baca Juga: Kemenperin Nilai PP 109/2012 Masih Relevan dengan Industri Hasil Tembakau

“Menimbang banyaknya substansi revisi yang terlalu luas seperti perlindungan anak terhadap zat adiktif, pengaturan distribusi, peringatan kesehatan, dan pengaturan terhadap penggunaan produk tembakau alternatif atau rokok elektrik maka dapat disimpulkan bahwa tidak mungkin gagasan tersebut terakomodasi dan dirangkum dalam satu produk regulasi,” ungkap Nurkhoiron dalam keterangan tertulisnya, Senin (1/8).

Mantan Komisioner Komnas HAM ini mencontohkan, niat revisi PP 109/2012 untuk memasukan poin soal rokok elektrik. Tanpa ada telaah mendalam, Nurkhoiron menilai pengaturan terhadap industri yang relatif baru tumbuh di Indonesia ini tak akan tepat sasaran.

Selain soal cakupan kebijakan yang terlalu luas, Nurkhoiron juga menekankan pentingnya aspek partisipasi terutama dari ekosistem industri hasil tembakau (IHT) lantaran mereka yang akan menjadi objek utama kebijakan kelak. Partisipasi menjamin regulasi yang disusun konstitusional sekaligus bukan sebagai formalitas belaka.

Nurkhoiron mengapresiasi bahwa dalam langkah perumusan revisi PP 109/2012 ini sudah dilakukan tahapan uji publik. Ia mendorong pendekatan yang lebih partisipatif dalam proses pembahasan revisi PP 109/2012 tanpa dibatasi jumlah orang, tidak memaksakan pendapat masing-masing, dan juga melibatkan lintas kementerian.

“Ini menjadi tanggung jawab kementerian terkait dalam memastikan tindak lanjut dari proses penyusunan regulasi secara konstitusional, dan tidak hanya menyelesaikan sebagai formalitas semata,” terang Nurkhoiron.

Menurutnya, partisipasi menjadi hal yang penting, apalagi sejumlah pelaku usaha IHT bahkan mengaku mendapat undangan uji publik tersebut secara mendadak, atau sampai kini belum mendapatkan draf terbarunya.

Bahkan beberapa pihak mengaku tak ikut diundang dalam uji publik seperti Forum Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman (FSP-RTMM).

Sementara itu, Ketua Umum FSP-RTMM Sudarto mengaku tak mendapat undangan untuk menghadiri uji publik tersebut. Padahal revisi PP 109/2012 dengan pengendalian yang sangat eksesif akan sangat mempengaruhi nasib para pekerja industri tembakau.

“Buruh di pabrik rokok itu, penerimaan upahnya berdasarkan satuan hasil. Kalau pasarnya turun, penghasilannya juga pasti akan turun. Tentu ini akan sangat memberatkan para pekerja di sektor ini,” kata Sudarto.

Baca Juga: Ekosistem Tembakau Menilai Proses Revisi PP No 109/2012 Tidak Sesuai Aturan

Menurut Sudarto, PP 109/2012 yang berlaku saat ini pun sejatinya telah memberatkan bagi industri sehingga para pekerja juga ikut terimbas. Sebab ketentuan-ketentuan yang ada telah melampaui kerangka pengendalian tembakau global alias Framework Convention of Tobacco Control (FCTC).

Belum lagi, menurutnya, dengan sifat yang eksesif dan menjadi payung terhadap pengendalian tembakau, PP 109/2012 berpotensi memicu sejumlah regulasi di tingkat daerah yang makin eksesif lagi sehingga mengancam eksistensi IHT.

“FSP-RTMM ini bukan hanya melindungi para pekerja, melainkan dari aspek hubungan industrial mendorong keberlangsungan industri karena ini akan sangat terkait penyediaan lapangan pekerjaan dan pertumbuhan kesejahteraan pekerjanya,” pungkas Sudarto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×