Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah telah menjalankan berbagai upaya untuk menangani pandemi Covid-19. Khusus di sektor ekonomi, pemerintah melakukan percepatan dalam mengeluarkan skema-skema kebijakan untuk meminimalisasi dampak pandemi.
Semuanya dilakukan semata-mata untuk melindungi masyarakat Indonesia. Namun, sinergi dalam melaksanakan sebuah kebijakan masih dirasakan kurang, sehingga kementerian/lembaga kerap berjalan sendiri-sendiri.
Untuk itu diperlukan revolusi atau perbaikan mendasar dalam kebijakan manajemen bantuan sosial di era pandemi ini.
Baca Juga: Peran Puskesos-SLRT terus didorong untuk sempurnakan sistem perlinsos
“Manajemen bantuan sosial seharusnya bukan lagi jadi domain satu instansi pemerintah, tetapi menjadi domain semuanya karena ini salah satu tugas utama pemerintah,” kata Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri dalam keterangannya, Selasa (24/8).
Yose menjelaskan bahwa pada prinsipnya seluruh kementerian/lembaga tidak hanya harus memainkan perannya masing-masing, tetapi bersinergi dan bekerja sama dengan industri lainnya untuk memastikan bantuan yang diberikan kepada masyarakat dapat berjalan dengan baik.
“Banyak pihak yang memiliki otoritas dalam penyaluran bantuan sosial tetapi tidak punya kemampuan, bahkan kurang memiliki tanggung jawab sehingga masing-masing cenderung bersikap wait and see,” ungkap Yose.
Berbagai program bantuan yang saat ini digulirkan idealnya harus dapat diberikan secara merata dan transparan sebagai upaya untuk menghindari potensi terjadinya tumpang-tindih antar penerima.
Yose mendorong kementerian/lembaga untuk memanfaatkan pesatnya penetrasi teknologi digital dalam menyalurkan bantuan kepada masyarakat.
Ia mencontoh penggunaan teknologi finansial (fintech) dalam menyalurkan bantuan kepada masyarakat seperti yang sudah dilakukan di dalam Program Kartu Prakerja, apalagi, menurutnya, setidaknya 70% masyarakat Indonesia sudah dapat mengakses internet melalui berbagai perangkat.
“Kita tidak bisa underestimate penetrasi dari teknologi digital kepada masyarakat secara keseluruhan. Bahkan di tempat-tempat terpencil pun sudah banyak yang terjangkau teknologi digital ini,” jelas Yose.
Oleh karena itu, penyaluran bantuan melalui fintech ini dipandang perlu untuk dapat diintensifkan. “Penggunaan fintech ini dapat menjadi salah satu breakthrough dan seharusnya sudah kita kerjakan satu atau satu setengah tahun yang lalu,” tutup Yose.
Selain itu, Yose juga menyorot masalah tingkat pengangguran yang naik akibat pekerja yang dirumahkan atau di-PHK selama pandemi Covid-19. Menurut Yose, terdapat potensi pekerja yang dirumahkan tidak kembali dipekerjakan oleh perusahaan ketika kondisi kembali normal.
Perlu dipikirkan adanya suatu rehiring program yang dilakukan oleh Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) kepada pemberi kerja. Dengan demikian, ketika perusahaan telah beroperasi secara normal, maka karyawan yang sempat dirumahkan dapat kembali dipekerjakan.
“Kemenaker tugas utamanya bukan untuk bantuan sosial, melainkan memastikan bahwa orang-orang yang dirumahkan itu bisa dipekerjakan kembali, dan ini sesuai dengan domain Kemenaker,” papar Yose.
Kemenaker dalam hal ini harus fokus mengurus para pekerja ter-PHK itu. Caranya, dapat berkolaborasi dengan dunia pendidikan, pelaku industri dan para pemain e-commerce nasional untuk mencari bentuk dan materi pelatihan yang paling dibutuhkan oleh pemakai tenaga kerja saat ini.
Baca Juga: Sri Mulyani bicara soal SKB III dan penarikan utang di pasar
Yose menjelaskan bahwa saat ini kemampuan angkatan kerja Indonesia itu sangat di bawah standar negara-negara di kawasan regional. "Baik dari sisi softskill, maupun technical skill, itu masih perlu banyak diperbaiki," ungkap Yose ketika dihubungi.
Menurutnya, pemerintah telah memberikan kepada masyarakat bantuan seperti Kartu Prakerja untuk menjawab tantangan tersebut. Ia menjelaskan bahwa pada esensinya Kartu Prakerja adalah program untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui berbagai pelatihan yang disediakan.
Walaupun terdapat insentif setelah mengikuti pelatihan, ia menegaskan bahwa Program Kartu Prakerja bukan semata program bantuan sosial.
“Program Kartu Prakerja memang seharusnya fokus pada upaya untuk meningkatkan kemampuan pesertanya dan nantinya setelah kondisi ideal, maka insentifnya ini akan dikurangi, sehingga dapat fokus kepada tujuan awalnya,” pungkas Yose.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News