Reporter: Vendi Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendesak pemerintah segera membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat.
Pasalnya, selama ini masyarakat adat masih mengalami berbagai diskriminasi dan kekerasan karena pemerintah membuka investasi seluas-luasnya bagi investor.
Baca Juga: Pembahasan RUU Pertanahan, Presiden Jokowi: Tidak usah tergesa-gesa
Sekjend AMAN Rukka Sombolingi mengatakan mandegnya penetapan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat periode 2014-2019 merupakan akibat ketidakmampuan pihak eksekutif untuk menyediakan Daftar Invetaris Masalah (DIM).
“Pembahasan lebih lanjut hanya dimungkinkan jika pihak Pemerintah menyediakan DIM, yang merupakan kewajiban dan syarat utama.” kata Rukka, Rabu (20/11).
Rukka juga menegaskan soal tidak sinergisnya niat politik (political will) Presiden dan implementasi di level Kementerian. “Presiden telah menerbitkan SUPRES terkait hal tersebut, namun tidak ditindaklanjuti oleh Kementerian-kementerian terkait. Bagi kami, hal ini jelas menunjukkan bahwa para Menteri melakukan pembangkangan politik terhadap keputusan President,” tambah Rukka.
Baca Juga: Pemerintah masih belum kompak soal RUU Pertanahan
Menurut Deputi II Pengurus Besar AMAN, Erasmus Cahyadi, Masyarakat Adat masih mengalami berbagai diskriminasi dan kekerasan yang disebabkan karena peraturan perundang-undangan membuka ruang yang luas pada investasi.
Sementara ruang pengakuan dan perlindungan hak Masyarakat Adat harus melalui jalan berliku. “Berbagai kebijakan yang disediakan Negara belum mengatur langkah-langkah yang tepat, jelas dan cepat dalam memberikan pengakuan dan perlindungan hak Masyarakat Adat.” kata Eras.
Eras mengatakan, hingga saat ini terdapat sekitar 18 sampai 20 juta Masyarakat Adat di seluruh Nusantara yang menjadi bagian dari komunitas-komunitas adat anggota AMAN.
Baca Juga: Tak perlu embel-embel subsidi, masyarakat adat perlu dilindungi haknya
Dari jumlah tersebut, sepertiga di antaranya memiliki hak pilih, namun kurang dari 30 per sen yang dapat menggunakan hak pilih dalam Pemilu maupun Pilkada.
“Mereka tidak bisa menggunakan hak pilih karena tidak memiliki KTP, yang artinya mareka belum dianggap sebagai warga negara yang sah,” tegas Eras.
Baca Juga: 2018, DPR targetkan penyelesaian puluhan RUU
Hal ini, kata Eras, akibat belum adanya pengakuan terhadap keberadaan mereka sehingga tidak terdata dalam administrasi negara yang membuat hak-hak asasi mereka hilang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News