Reporter: Tane Hadiyantono | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Joko Widodo (Jokowi) meresmikan percepatan implementasi Industri 4.0 terhitung mulai Rabu (4/4). Langkah ini disambut pelaku usaha lantaran dipandang sebagai kebijakan keberpihakan ke sektor industri.
Namun bukan berarti jalan menuju revolusi industri ini tanpa tantangan. Dalam peluncuran Making Indonesia 4.0 hari ini, Jokowi menyatakan terdapat lima sektor industri yang bakal mendapat prioritas, yakni industri makanan dan minuman, tekstil, otomotif, elektronik, dan kimia.
Menurutnya, kelima sektor tersebut bakal menjadi tulang punggung dalam rangka meningkatkan daya saing yang sejalan dengan perkembangan industri generasi digital. Tak hanya itu, kelima sektor industri tersebut dinilai menyumbang penciptaan lapangan kerja lebih banyak serta investasi baru yang berbasis teknologi.
Adapun teknologi dalam industri 4.0 adalah pemanfaatan rekayasa kecerdasan (artificial intelligence), internet of things (IOT), big data, hingga robot pencipta nilai tambah barang dan jasa.
Skema besarnya, kesuksesan Making Indonesia 4.0 berpotensi dorong pertumbuhan PDB riil sebesar 1%-2% per tahun, sehingga pertumbuhan PDB per tahun akan naik dari baseline sebesar 5% menjadi 6-7% pada periode tahun 2018-2030.
Dari capaian tersebut, industri manufaktur diperhitungkan bisa berkontribusi sebesar 21-26% terhadap PDB pada tahun 2030.
Ketua Gabungan Pengusaha Industri Makanan dan Minuman (Gapmmi) Adhi S. Lukman menyambut program tersebut dengan antusias. Ia menerawang, untuk industri makanan dan minuman (mamin), teknologi big data dapat menciptakan efisiensi produksi hingga tingkat kustomisasi per daerah.
"Misalnya, dengan data-data tersebut kita bisa memetakan daerah mana, baik domestik maupun mancanegara, yang memiliki selera makanan manis atau asin. Sehingga produksi bisa menjadi lebih spesifik, unik dan custom," jelasnya pada Kontan.co.id, Rabu (4/4).
Namun untuk mencapai titik tersebut, urusan modal uang dan teknologi bakal menjadi beban berat. Adhi sendiri mengakui perusahaan-perusahaan besar dengan bendera multinasional lah yang paling mungkin bergerak duluan ke arah tersebut. Sedangkan bagi industri mamin yang menengah hingga kecil akan tetap kewalahan dengan urusan modal dan bahan baku.
Dus, bila ingin melibatkan industri menengah dan kecil, pemerintah sebaiknya turut merancang skema subsidi bagi industri penopang dan insentif seperti tax holiday yang bisa menggaet investor dan pengusaha.
Tak lepas, Syaikhul Islam Wakil Ketua DPR Komisi VII melihat kondisi teknologi dan SDM Indonesia masih jauh dari memadai untuk mencapai industri 4.0 ini. Pasalnya, kerangka berpikir masyarakat masih terpaku pada pakem era industrialisasi lampau sehingga skill yang dibangun tidak bervariasi.
Kemudian, sejak reformasi Syaikhul melihat kualitas riset dan pengembangan di Indonesia tidak lagi digarap dengan serius, apalagi institusi riset masih berkelut di antaranya sendiri. Tapi bukan berarti Indonesia bakal banyak menggunakan riset maupun teknologi dari asing.
"Banyak hal yang harus dibenahi dari SDM dan teknologi itu betul, tapi saya kira anak bangsa ini tetap bisa bersaing selama pembenahan segera dilakukan," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News