Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Belakangan ini, diskusi seputar utang pemerintah menyeruak. Dalam hal ini, pemerintah dinilai tidak cukup baik dalam mengelola utang.
Ekonom Faisal Basri melihat keseimbangan primer mengalami defisit dan terus bertambah. Padahal, pada 2016 lalu Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah menyatakan, pemerintah meminjam bukan untuk investasi, tapi meminjam untuk keperluan men-service utang masa lalu. Hal itu, dikemukakan oleh Sri Mulyani adalah pengelolaan utang yang kurang sehat.
Menurut Faisal, kurang sehatnya keadaan tersebut sampai kini masih tetap berlanjut. Sebab, keseimbangan primer mengalami defisit dan terus bertambah. Artinya, pemerintah tetap gali lubang tutup lubang.
“Justru keseimbangan primer defisitnya semakin bertambah. Pada 2015 sebesar minus Rp 142,5 triliun, 2016 minus Rp 125,6 triliun. Pada 2017 naik jadi minus Rp 129,3 triliun,” katanya dalam diskusi ILUNI UI di Gedung Rektorat UI Salemba, Jakarta, Selasa (3/4).
Adapun menurut Faisal, utang yang ditarik pemerintah selama ini tidak seluruhnya digunakan untuk belanja infrastruktur. Sebab, peningkatan utang pemerintah banyak digunakan untuk belanja barang dan pegawai.
Ia menyebut, periode 2014-2017, belanja barang pemerintah meningkat sampai 58%, sedangkan belanja modal pemerintah hanya tumbuh sebesar 36%. “Jadi, tidak benar utang itu untuk infrastruktur. Peningkatan utang itu banyak untuk belanja barang yang sepanjang 2014-2017 tumbuhnya 58%,” katanya.
Tak hanya itu, masih banyak lagi kritik-kritik lainnya soal utang. Pemerintah pun tampak gerah merespon kritik tersebut. Sri Mulyani bahkan menyebut, diskusi soal utang menimbulkan kesan seolah-olah Indonesia dalam kondisi krisis padahal tidak.
"Kalau memang tujuan mereka yang menyoroti masalah utang untuk buat masyarakat resah, ketakutan, dan panik serta untuk kepentingan politik tertentu, upaya politik destruktif seperti itu sungguh tidak sesuai dengan semangat demokrasi yang baik dan membangun," ujar Sri Mulyani.
Merespon hal ini, pemerintah juga sempat mengeluarkan rilis. Menurut Faisal Basri, respon pemerintah terhadap isu ini kurang elok.
“Belakangan, reaksi pemerintah bernada emosional disertai dengan operasi Public Relations (PR), misalnya panggil wartawan, mengeluarkan rilis, menayangkan video di media sosial yang terkesan mengajari dan tidak proporsional,” katanya.
Hingga kini, ribut-ribut soal utang masih berlanjut. Rasanya, kedua pihak harus berpikir lebih jernih untuk merespon polemik ini karena bisa saja berimbas pada ekonomi Indonesia.
Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Scenaider Siahaan mengatakan, investor akan melihat keributan ini dan berspekulasi terhadap keadaan di Indonesia.
“Kalau semakin banyak ribut, investor lihat, itu bisa menaikkan risiko. Bisa naikkan yield tanpa kita sadari. Itu unnecessary kan,” kata dia.
Ia mengatakan, keributan yang terjadi di negara bisa juga mempengaruhi rating dari utangnya. Sebab, dalam asesmen rating, semua aspek dalam negara masuk menjadi indikator penilaian.
“Kita harus jaga rating kita. Semua, sosial, politik, ekonomi masuk situ. Jadi tidak perlu ribut-ribut,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News