Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian terus melakukan upaya untuk menangkal potensi defisit kembar (twin deficit), yaitu defisit neraca transaksi berjalan dan defisit neraca fiskal.
Salah satu upayanya adalah dengan menargetkan tiga perjanjian dagang bebas yang direncanakan akan rampung pada tahun ini.
Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kemenko Perekonomian, Edi Prio Pambudi, mengimbau agar pemerintah tidak terlalu khawatir mengenai defisit. Hal ini dikarenakan tantangan perekonomian nasional lebih banyak berasal dari tekanan eksternal.
"Masalahnya bukan di internal, masalahnya karena tekanan eksternal. Semua mata uang di dunia sedang melemah karena kebijakan di Amerika Serikat," ujar Edi di Jakarta, Kamis (30/5).
Oleh karena itu, pihaknya akan terus memperluas mitra dagang dengan semua negara melalui politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Artinya, mitra dagang yang dipilih pemerintah sudah memahami bahwa Indonesia merupakan negara yang tidak berpihak alias non-blok.
Baca Juga: Indonesia Berkomitmen Selesaikan IEU-CEPA Pada Juli 2024
"Kalau misalnya kita akan menjajaki Rusia, China atau negara lain semua sudah terukur mereka sudah paham bahwa Indonesia itu adalah negara non alignment (tidak berpihak)," katanya.
Edi menekankan bahwa elemen penting dalam perluasan mitra dagang internasional adalah kerja sama yang saling menguntungkan. Pemerintah juga akan memilih negara yang lebih atraktif sebagai mitra dibandingkan dengan yang saat ini ada.
"Jadi kita tetap yakin bahwa dengan nanti memperluas perdagangan mencari pasar yang lebih atraktif kita akan bisa mendorong perdagangan," terang Edi.
Menurutnya, pemerintah berencana menyelesaikan tiga perjanjian dagang bebas pada tahun ini. Ketiga perjanjian tersebut adalah Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA), Perjanjian Perdagangan antara Indonesia dan Uni Ekonomi Eurasia (Eurasian Economic Union/EAEU), serta Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP).
Edi mengatakan bahwa perundingan IEU-CEPA diharapkan bisa selesai pada perundingan putaran ke-19 pada Juli 2024 mendatang.
Sebagai informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus sebesar US$ 3,56 miliar pada April 2024. Hanya saja, surplus ini menurun sebesar US$ 1,02 miliar dibandingkan bulan sebelumnya.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Mohammad Faisal, memperkirakan neraca transaksi berjalan akan mengalami defisit. Hal ini terlihat dari struktur neraca transaksi berjalan Indonesia yang berubah, dengan perdagangan barang mengalami surplus namun perdagangan jasa dan neraca pendapatan primer mengalami defisit.
Menurutnya, neraca perdagangan barang mengalami surplus karena adanya booming harga komoditas yang mendorong ekspor Indonesia. Namun, dengan kondisi harga komoditas yang mulai menurun sejak 2023, maka surplus neraca perdagangan diperkirakan akan menyempit.
"Kalau neraca perdagangan menyempit karena strukturnya seperti tadi, transaksi berjalan juga akan kembali defisit dari yang tadinya surplus," kata Faisal kepada Kontan.co.id, Kamis (30/5).
Faisal juga mengatakan bahwa upaya pemerintah untuk mempererat perdagangan dengan banyak negara belum bisa memperbaiki surplus neraca transaksi berjalan Indonesia.
"Terus terang selama ini dari hasil evaluasi atau melihat dari data kerja sama perdagangan-perdagangan yang sudah ada ini cenderungnya memang bukan mendorong surplus, bahkan cenderung defisit. Ini terjadi di banyak kasus, terutama yang paling besar adalah China," katanya.
Baca Juga: Ekonom Bank Josua Pardede: Faktor Ekonomi Global Jadi Sentimen Dominan Saat Ini
Dirinya mengakui bahwa kinerja ekspor Indonesia cenderung meningkat dengan adanya perjanjian perdagangan bebas alias free trade agreement (FTA). Namun, kondisi tersebut juga membuat impor Indonesia melonjak lebih tinggi.
"Jadi artinya, ini tidak mengobati defisit transaksi berjalan, malah memperparah," terang Faisal.
Hal ini dikarenakan biasanya negara-negara mitra akan menyasar pasar dalam negeri yang lebih mudah dipenetrasi seperti tarif yang rendah, sehingga barang-barang dari luar negeri akan mudah masuk ke pasar domestik.
"Sehingga itu terjadi maka peningkatan ekspornya tidak setara dengan peningkatan impornya yang lebih besar, sehingga justru mendorong ke defisit. Artinya, transaksi berjalan itu juga bukan malah diobati, malah menjadi lebih besar," pungkasnya.
Sebagai informasi, perekonomian yang mengalami defisit fiskal dan defisit transaksi berjalan sering disebut sebagai "defisit kembar". Artinya, pendapatan pemerintah lebih rendah dibandingkan pengeluaran pemerintah dan nilai impor suatu negara lebih besar dibandingkan pendapatan ekspornya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News