Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Herlina Kartika Dewi
Dia menyebut, penggunaan SILPA tetap saja anggaran APBN. Apalagi sebagian dari SILPA diperoleh dari pembiayaan utang. Maka ini artinya pemerintah memberikan dana kepada proyek kereta cepat sumber nya dari utang.
Ujung nya, proyek dari business to business bisa berubah menjadi proyek yang sifatnya Government to Business dengan membebankan kepada pemerintah (APBN).
“Jadi ini langkah yang saya kira sudah jauh dari uji kelayakan, dimana proyeknya harusnya bisa dilakukan secara komersil tanpa melibatkan APBN sama sekali meskipun ini dana SILPA,” ucap Bhima.
Bhima meminta pemerintah memperhatikan sejumlah hal terkait KCJB. Pertama, pada waktu awal kereta cepat merupakan satu paket pembangunan wilayah. Artinya secara paralel mau tidak mau untuk menunjang jumlah penumpang kereta cepat, maka wilayah yang dilewati kereta cepat itu juga harus dibangun.
Kedua, sebelum melakukan penambahan modal secara langsung dari APBN, sebaiknya dioptimalkan terlebih dahulu sindikasi bank BUMN ataupun sumber dana dari internal BUMN lainnya.
Baca Juga: Pemerintah siapkan suntikan modal ke BUMN tahun depan sebesar Rp 58,88 triliun
“Misalnya BUMN konstruksi bisa jadi kalau wilayah kota ada pembangunan lainnya di sekitar wilayah Jakarta – bandung kereta cepat, bisa juga BUMN di sektor industri. Sehingga ada agregasi pembangunan nya bukan hanya untuk investasi kereta cepat, tapi juga wilayah sekitarnya, mungkin banyak BUMN yang akan tertarik,” ujar Bhima.
Ketiga, jika secara pembiayaan jangka panjang belum juga bisa menutup biaya investasi yang membengkak, maka dinilai perlu untuk menghentikan proyek kereta cepat.
“Nanti aset yang sudah ada, dialihkan untuk kepentingan proyek lainnya yang lebih profitabilitas nya tinggi, dan lebih feasible secara kelayakan,” tutur Bhima.
Sebelumnya, Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT KAI (Persero) Salusra Wijaya mengatakan, kebutuhan investasi proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) membengkak atau mengalami cost overrun (kelebihan biaya) menjadi US$ 8 miliar atau setara Rp 114,24 triliun.
Biaya awal pembangunan KCJB adalah US$ 6,07 miliar atau sekitar Rp 86,5 triliun. Dengan adanya perkiraan pembengkakan anggaran mencapai US$ 8 miliar, berarti terdapat kenaikan sekitar US$ 1,9 miliar dolar atau setara Rp 27,09 triliun.
Staf khusus Menteri BUMN Arya Mahendra Sinulingga mengatakan, pandemi Covid-19 berdampak pada keuangan pemegang saham proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung. Ia menyebut, pendanaan dari pemerintah untuk kereta api cepat wajar juga dilakukan di hampir semua negara.
“Kita ingin supaya pembangunan tepat waktu,” ujar Arya.
Selanjutnya: Menko Marves Luhut Pimpin Percepatan Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News