Reporter: Grace Olivia | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Alokasi pembiayaan utang yang disepakati pemerintah dan Badan Anggaran DPR RI sebesar Rp 351,85 triliun dalam APBN 2020. Anggaran pembiayaan utang tersebut lebih kecil dibandingkan outlook realisasi pembiayaan utang tahun 2019 yaitu Rp 373,88 triliun.
Jika ditilik, penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) neto tahun depan sebesar Rp 389,22 triliun, lebih tinggi dari outlook 2019 yaitu Rp 381,83 triliun.
Baca Juga: Banggar sepakati pembiayaan utang dalam RAPBN 2020 sebesar Rp 351,85 triliun
Namun, nilai penarikan pinjaman neto untuk tahun depan naik lebih signifikan, yaitu menjadi Rp 37,47 triliun, dari Rp 7,95 triliun dalam outlook realisasi 2019.
Direktur Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan, pemerintah belum menetapkan strategi secara pasti untuk pembiayaan utang tahun depan.
“Kami masih menunggu angka APBN 2020 disahkan, sambil memantau kondisi pasar sampai mendekati akhir tahun. Kalau tentukan strategi dari sekarang, nanti bisa jadi ada perubahan sentimen lagi sehingga menjadi tidak relevan,” tutur Luky saat ditemui usai acara peluncuran SBR008, Kamis (5/9).
DJPPR terutama memantau perkembangan hasil rapat FOMC The Federal Reserve akhir September nanti, yang biasanya disusul oleh keputusan kebijakan Bank Indonesia. Strategi pembiayaan yang ajeg, ia bilang, kemungkinan akan disosialisasikan di akhir tahun nanti.
Baca Juga: Pemerintah alokasikan Rp 858,8 triliun untuk transfer daerah dan dana desa
Adapun menurut Luky, kenaikan pagu pinjaman neto dalam APBN 2020 memang lebih besar dibandingkan kenaikan penerbitan SBN. Ini seiring dengan kondisi perekonomian dan pasar yang diprediksi masih akan volatil di tahun depan.
Namun Luky menjelaskan, pemerintah tetap menerapkan prinsip fleksibilitas dan oportunistik dalam mengambil kebijakan pembiayaan, terutama dalam menerbitkan SBN.
“Saat ini kita dalam kondisi yang cukup rentan, volatil, dan penuh dengan ketidakpastian. Kita membutuhkan fleksibilitas agar tidak disudutkan pasar (cornered market),” lanjut Luky.
Meski tren suku bunga global saat ini menurun, penerbitan SBN tak serta merta lebih mudah. Pasalnya pelemahan ekonomi global dan volatilitas pasar, menurut Luky, membuat minat (appetite) investor terhadap instrumen SBN Indonesia tak sebesar awal tahun ini. Maklum, SBN Indonesia masih tergolong instrumen yang berisiko.
Baca Juga: Komisi VI terima usulan pagu indikatif dan tambahan anggaran BKPM untuk tahun 2020
Kendati begitu, Luky juga menjelaskan, penarikan pinjaman sifatnya juga lebih terbatas. Institusi internasional seperti Bank Dunia atau Asian Development Bank (ADB), contohnya, memiliki batasan peminjaman untuk masing-masing negara (single borrowing limit).
“Jadi ini semua kita kelola, bagaimana menentukan porsinya. Juga menentukan komposisi utang valas dan rupiah,” kata Luky.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News