kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pembahasan poin-poin RUU JPSK alot


Senin, 26 Oktober 2015 / 18:12 WIB
Pembahasan poin-poin RUU JPSK alot


Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Sanny Cicilia

JAKARTA. Anggota Komisi XI Fraksi Partai Golkar Mukhamad Misbakhun mengakui, perlunya waktu yang lebih panjang untuk membahas dan menyepakati beberapa substansi Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Pihaknya memperkirakan, target pengesahan RUU tersebut sulit dilaksanakan akhir Oktober.

Menurut Misbakhun, salah satu substansi yang masih dipermasalahkan yaitu soal posisi presiden dalam penetapan status keadaan krisis, yang dalam RUU ditetapkan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

"Soal lembaga yang menetapkan status keadaan krisis apakah ditetapkan oleh presiden secara ex officio untuk memperkuat status krisis secara kelembagaan dan hukum level pejabat yang lebih rendah," ungkap Misbakhun, Senin (22/10).

Dalam RUU tersebut, penetapan keadaan krisis dilakukan oleh KSSK yang terdiri dari pemerintah, yaitu Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dengan pengambilan keputusan secara musyawarah untuk mufakat.

Sementara itu, Presiden hanya akan mendapatkan laporan setelah KSSK memutuskan penetapan kondisi tidak normal, langkah penanganan krisis tidak normal, dan atau penanganan permasalahan bank berdampak sistemik.

Lebih lanjut dikatakannya, beberapa fraksi juga menginginkan adanya perluasan cakupan penanganan krisis tidak hanya perbankan tetapi juga pasar modal dan asuransi.

Di sisi lain, cakupan yang lebih luas diakuinya akan memperpanjang waktu pembahasan beleid ini. Fraksi Golkar sendiri lanjut dia, mengusulkan cakupan JPSK pada sektor perbankan terlebih dahulu.

"Setelah UU JPSK tersebut berjalan maka bisa kita memasukkan unsur pasar modal, asuransi, dan pasar surat berharga sebagai amandemen berikutnya terhadap UU JPSK," tambah dia.

Misbakhun melanjutkan, pihaknya juga mempermasalahkan pembentukan Badan Restrukturisasi Perbankan (BRP).

Dalam RUU, BRP akan dibentuk dan bertugas untuk menangani permasalahan sektor perbankan yang masif dan membahayakan perekonomian nasional dalam kondisi tidak normal. BRP pun bertanganggung jawab kepada KSSK.

Saat UU JPSK disahkan, maka BRP secara otomatis akan terbentuk. BRP baru aktif menjalankan tugasnya setelah KSSK menyatakan adanya beberapa bank yang bermasalah dan BRP perlu diaktifkan.

Oleh karena itu menurut Misbakhun, pembentukan BRP perlu diatur dalam pasal khusus. Dengan demikian, perlu ada pembahasan khusus dan lebih mendalam pula mengenai tugas, kewenangan, sistem penanganan, hingga sumber dana penanganan bank-bank yang ditangani BRP nantinya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×