Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pelemahan nilai tukar rupiah yang hampir mendekati level Rp 17.000 per dolar AS mulai menjadi perhatian kalangan ekonom.
Meski saat ini dampaknya terhadap inflasi impor belum terasa signifikan, risiko lonjakan harga tetap harus diantisipasi, terutama pada sektor energi dan industri manufaktur yang bergantung pada bahan baku impor.
Chief Economist BCA David Sumual mengatakan, pelemahan rupiah secara year to date (YtD) sejak awal tahun 2025 sampai September ini diperkirakan sekitar 4%.
Kondisi ini menurutnya belum banyak mengubah harga produk impor dan inflasi masih berada dalam kisaran proyeksi tahun ini. Namun, ia mengingatkan pelemahan lebih lanjut bisa memicu tekanan baru pada harga.
Baca Juga: Ekonom Sebut Pelemahan Rupiah Tekan Inflasi Terselubung dan Melemahkan PMI Manufaktur
“Inflasi masih dalam rentang outlook tahun ini. Pelemahan rupiah year to date sekitar 4% dan harga produk impor relatif belum banyak berubah. Tapi perlu diwaspadai kalau pelemahan rupiah berlanjut,” kata David kepada Kontan, Minggu (28/9).
Sementara itu, Global Market Economist Maybank Indonesia Myrdal Gunarto menyoroti potensi imported inflation seiring pelemahan rupiah yang kini mendekati Rp 17.000 ditambah kenaikan harga minyak dunia menuju kisaran US$ 70 per barel.
“Kalau harga minyak terus naik sementara rupiah melemah, maka biaya impor energi meningkat. Ini bisa berdampak pada harga BBM non-subsidi, bahkan membuka peluang penyesuaian pada harga subsidi seperti solar, listrik, dan LPG 3 kilogram,” ujar Myrdal kepada Kontan, Minggu (28/9)
Myrdal juga mengingatkan dampak pelemahan rupiah terhadap sektor manufaktur. Industri yang banyak mengandalkan bahan baku impor, seperti farmasi, otomotif, elektronik, besi dan baja, hingga makanan olahan, berpotensi menghadapi kenaikan ongkos produksi. Hal ini dapat menekan Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur ke depan.
“Banyak industri kita yang mengandalkan bahan baku dari luar negeri. Jadi harus hati-hati. Semua itu akan tertekan jika rupiah terus melemah,” ujar Myrdal.
Baca Juga: Pebisnis Migas hingga Industri Manufaktur Soroti Dampak Pelemahan Kurs Rupiah
Meski begitu, ia menilai ruang pemulihan rupiah tetap terbuka. Surplus perdagangan yang konsisten, ekspor hilirisasi, serta potensi arus modal asing (Foreign Direct Investmen/FDI) pada kuartal IV diharapkan mampu menopang stabilitas rupiah.
“Kita masih berharap rupiah bisa kembali ke bawah Rp 16.500 pada akhir tahun, seiring ekspektasi penurunan suku bunga The Fed,” kata Myrdal.
Dengan kondisi tersebut, kalangan ekonom menilai inflasi hingga akhir 2025 masih terkendali. Namun risiko imported inflation dan tekanan biaya produksi harus diantisipasi, karena bisa memengaruhi daya beli sekaligus pertumbuhan industri manufaktur nasional.
Selanjutnya: Begini Peta 10 Besar Manajer Investasi Setelah Akuisisi Manulife Atas Schroder
Menarik Dibaca: Nasi Bebek Ibu Chotijeh, Antrean Panjang di Pasar Baru Sejak 2016
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News