kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   18.000   1,19%
  • USD/IDR 16.199   95,00   0,58%
  • IDX 6.984   6,63   0,09%
  • KOMPAS100 1.040   -1,32   -0,13%
  • LQ45 817   -1,41   -0,17%
  • ISSI 212   -0,19   -0,09%
  • IDX30 416   -1,10   -0,26%
  • IDXHIDIV20 502   -1,67   -0,33%
  • IDX80 119   -0,13   -0,11%
  • IDXV30 124   -0,51   -0,41%
  • IDXQ30 139   -0,27   -0,19%

Pelaku Usaha Klaim Tak Pernah Dilibatkan dalam Penetapan Kenaikan Pajak Hiburan


Senin, 22 Januari 2024 / 16:28 WIB
Pelaku Usaha Klaim Tak Pernah Dilibatkan dalam Penetapan Kenaikan Pajak Hiburan
Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani (tengah) usai pertemuan dengan Pemerintah?di Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (22/1/2024).


Reporter: Lailatul Anisah | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku usaha hiburan mengaku tidak pernah dilibatkan dalam penetapan kenaikan pajak hiburan yang ada di kisaran 40%-75%. 

Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani menilai penetapan pajak hiburan dalam UU No 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKDP) ini mengabaikan konsultasi publik terhadap sektor yang terdampak. 

"Konsultasi publik terhadap sektor yang terkena Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) tersebut tidak pernah dilakukan," kata Hariyadi saat dijumpai di Kantor Kemenko Perekonomian, Senin (22/1). 

Selain itu, Hariyadi mengklaim sosialisasi atas regulasi terkait kenaikan pajak ini juga tidak dilakukan oleh Pemerintah kepada mereka. 

Baca Juga: Buntut Penerapan Pajak Hiburan Baru, Pemerintah Siapkan Dua Insentif untuk Pengusaha

Alhasil, seluruh pelaku industri hiburan tidak ada yang menyepakati kenaikan pajak sebesar 40% karena dianggap mematikan usaha di sektor hiburan. 

Hariyadi juga menilai regulasi kenaikan pajak ini juga bertabrakan dengan 27 ayat (2) UUD 1945 bahwa warga negara berhak atas pekerjaan yang layak, Pasal 28D ayat (1) bahwa setiap orang berhak mendapatkan jaminan kepastian hukum yang adil dan pasal 33 ayat (4) yang menyatakan perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip kebersamaan. 

"Regulasi pajak ini justru terjadi diskriminasi. Padahal pajak itu diharapkan menstimulasi penciptaan lapangan kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan ini tidak terjadi," kata Hariyadi. 

Untuk itu, pihaknya bakal mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai bentuk penolakan terhadap Undang-Undang Nomor 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Daerah antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 

Baca Juga: Tolak Tarif 40%-75%, Pengusaha Akan Tetap Gunakan Pajak Hiburan dengan Tarif Lama

Untuk saat ini Asosiasi yang sudah mengajukan judicial review, di antaranya, asosiasi SPA, Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) dan asosiasi lainnya.

"Kita mempercepat di akhir Januari pasti akan masuk. Kita pastikan di akhir Januari itu semua sudah teregister. Jadi kami mengejar secepatnya agar (surat pengajuan) itu masuk," ungkap Hariyadi. 

Diketahui, pemerintah telah memberlakukan tarif pajak hiburan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKDP) sebesar 40%-75%. Kenaikan ini menjadi polemik lantaran banyak pelaku usaha yang merasa diberatkan. 

Sebagai informasi, UU HKPD telah menetapkan pengaturan atas Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang dipungut oleh Kabupaten/ Kota, khusus DKI Jakarta dipungut oleh Provinsi.

PBJT ini meliputi makanan dan/atau minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, jasa parkir, jasa kesenian dan hiburan, dengan tarif paling tinggi 10%, di mana sebelumnya diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 dengan tarif paling tinggi 35%. 

Sedangkan Khusus PBJT atas Jasa Hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, dikenakan paling rendah 40% dan paling tinggi 75% (sebelumnya dengan UU 28/ 2009 paling tinggi hanya 75%, tanpa pembatasan minimum, sehingga bisa di bawah 40%).

Baca Juga: Tolak Kenaikan Pajak Hiburan, PHRI Bali: Melemahkan Perekonomian Bali

Pajak Hiburan yang sebesar yang minimum 40% ini dibebankan kepada pelanggan, sedangkan terhadap pihak Penyelenggara Jasa Hiburan juga dikenakan PPh Badan sebesar 22%.

Pemberlakuan pengenaan tarif PBJT yang baru paling lama 2 tahun sejak UU 1 Tahun 2022 mulai berlaku pada 5 Januari 2022 (5 Januari 2024) yang diatur oleh masing-masing Pemerintah Daerah.

Beberapa daerah telah menetapkan tarif PBJT diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa: (a) DKI Jakarta melalui Perda Nomor 1 Tahun 2024 menetapkan tarif sebesar 40% (sebelumnya 25%); (b) Kabupaten Badung melalui Perda Nomor 7 Tahun 2023 menetapkan tarif sebesar 40% (sebelumnya 15%).

Sebelum berlakunya UU HKPD, berdasarkan UU 28/ 2009 sudah ada beberapa daerah yang menetapkan tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa sebesar 75% (Aceh Besar, Banda Aceh, Binjai, Padang, Kota Bogor, Depok), sebesar 50% (Sawahlunto, Kab Bandung, Kab Bogor, Sukabumi, Surabaya), sebesar 40% (Surakarta, Yogyakarta, Klungkung, Mataram). 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×