kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pasar SBN bergolak, sirene krisis belum menyala


Rabu, 23 Mei 2012 / 08:10 WIB
Pasar SBN bergolak, sirene krisis belum menyala
ILUSTRASI. Senang Kharisma Textile , perusahaan sepengendali Sritex kembali terkena gugatan PKPU.


Reporter: Herlina KD | Editor: Dupla Kartini

JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemkeu) terus mewaspadai gejolak pasar global yang terus memburuk dalam beberapa pekan terakhir. Maklum, efeknya sudah terasa di pasar surat berharga negara (SBN) domestik. Imbal hasil atawa yield SBN jangka panjang mengalami kenaikan, sementara harga SBN sebaliknya turun.

Meski mengakui ada gejolak di pasar SBN, Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kemkeu Rahmat Waluyanto menegaskan, situasi yang ada belum menyalakan sirene pertanda krisis. "Secara keseluruhan ada kenaikan yield obligasi dengan kisaran 5 - 10 basis poin (bsp). Tapi, dalam dua hari terakhir kondisinya membaik," ujar Rahmat kemarin.

Bahkan, untuk SBN tenor jangka panjang yakni 10 tahun, yield-nya naik lebih tinggi. Sejak 1 - 21 Mei 2012, imbal hasilnya sudah naik sekitar 50 bps. Beruntung, "Dalam seminggu ini naiknya sekitar 5 bps hingga 10 bps. Artinya, kenaikan yield makin rendah," jelas Rahmat.

Menurut Rahmat, jika mengacu pada manajemen protokol krisis atawa crisis management protocol (CMP) yang dimiliki pemerintah, gejolak saat ini belum menunjukkan tanda-tanda krisis. Meski begitu, pemerintah terus mewaspadainya.

Bahkan Bank Indonesia (BI) sudah terlihat turun ke pasar SBN. Contoh, posisi kepemilikan SBN oleh BI per 11 Mei 2012 sempat meningkat mencapai Rp 6,91 triliun. Tapi per 16 Mei 2012 turun jadi Rp 1,32 triliun.

Untuk meredam gejolak di pasar SBN, pemerintah telah memasukkan aturan mainnya di Rancangan Undang-undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (RUU JPSK).

Rahmat menjelaskan, alasan pemerintah memasukkan SBN dalam calon beleid itu antara lain, kalau terjadi krisis di pasar SBN domestik sehingga berpotensi memicu krisis yang berdampak sistemik.

Pasalnya, meski SBN dijamin oleh pemerintah, saat ini sebagian besar dimiliki perbankan, perusahaan asuransi, dana pensiun, reksadana, investor asing, bank sentral, termasuk juga Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Akibatnya, kalau harga SBN anjlok, nilai aset dari investasi lembaga keuangan ini bisa ikut terperosok. "Kalau SBN dipegang oleh perbankan, itu bisa mengakibatkan rasio kecukupan modal mereka tergerus," ujarnya.

Dalam RUU JPSK, pemerintah harus membuat manajemen protokol menghadapi krisis. Terutama, menetapkan kondisi pasar SBN seperti kapan termasuk dalam kategori waspada, siaga, dan kondisi krisis.

Karena itu, Rahmat berharap, pembahasan RUU JPSK bisa lancar di DPR. Dengan begitu, pemerintah punya payung hukum untuk melakukan pencegahan krisis, maupun penanganan saat terjadi krisis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×