Reporter: Dyah Megasari |
JAKARTA. Semestinya ada sanksi tegas untuk partai-partai politik yang menggunakan dana hasil korupsi atau tindak pidana pencucian uang. Selain membawa efek jera, parpol terdorong untuk mengelola keuangannya dengan akuntabel dan transparan.
Hal itu disampaikan Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang dan Koordinator Nasional Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampow secara terpisah, Kamis (23/5) di Jakarta.
"Tanpa sanksi tegas seperti pembubaran partai atau diskualifikasi parpol dari kesertaan dalam pemilu, parpol tak akan kapok menggunakan dana dari sumber-sumber ilegal," tutur Sebastian.
Jeirry menambahkan, para politikus di DPR memang membuat aturan yang melindungi partai masing-masing. Karenanya, tidak ada aturan yang mengharuskan audit keuangan partai politik, apalagi sanksi bagi parpol yang menggunakan dana hasil tindak pidana.
"Kenapa tidak ada aturan audit keuangan partai? Sebab mereka tahu seperti apa pengelolaan uang parpol. Bahkan bendahara partai bisa mengaku tidak mengetahui dari mana sumber dana untuk kegiatan parpol dan penggunaannya," kata Jeirry.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, menurut anggota KPU Arief Budiman, sudah mengatur dana kampanye yang boleh digunakan peserta pemilu. Dana kampanye tidak boleh berasal dari pihak asing, keuangan negara, dan ada sumber-sumber tak jelas. Ditegaskan pula bahwa sumbangan dari pihak lain yang sah adalah dana yang tidak berasal dari tindak pidana dan tidak mengikat.
Ketika peserta pemilu, baik parpol maupun calon anggota DPD, menerima dana yang bersumber dari tindak pidana, pemberi dana bisa dihukum pidana paling lama penjara dua tahun dan denda. Peserta pemilu yang terbukti menggunakan dana tidak sah pun bisa dipidana maksimal tiga tahun penjara dan denda maksimal Rp 36 juta.
Namun demikian, menurut Arief, sanksi pidana ini sulit diimplementasikan apabila peserta pemilu adalah partai politik. Sanksi pidana hanya mengenai individu. Selain itu, untuk menyatakan peserta pemilu menggunakan dana haram, diperlukan putusan berkekuatan hukum tetap. KPU pun harus menunggu pembuktian korupsi atau tindak pidana pencucian uang oleh KPK atau PPATK.
Ketika ada kekosongan peraturan ini, kata Salang, semestinya ada keberanian dari KPU untuk membuat ketentuan tegas. Sebab, ruang untuk menerapkan sanksi tegas masih ada. KPU bisa mendorong pembubaran parpol ke pengadilan apabila parpol tersebut terbukti menggunakan dana hasil tindak pidana. Apalagi, sepanjang bisa dibuktikan menggunakan dana haram, parpol bisa dibekukan.
Parpol bisa dianggap sebagai korporasi seperti diatur dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Jika demikian, parpol pun bisa didiskualifikasi dari kesertaan sebagai peserta pemilu.
Selain itu, kata Jeirry, partai-partai politik perlu dipaksa membuat pembukuan keuangan secara benar. Pembukuan ini harus diaudit sehingga parpol di Indonesia bisa benar-benar demokratis, transparan, dan akuntabel. (Nina Susilo/Kompas.com)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News