Reporter: Tane Hadiyantono | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Semenjak era reformasi, bursa pemilihan pemimpin melalui jalur partai politik kian riuh. Ramai tak hanya dari jumlah partai politik yang terus bertambah, atau dari kader-kader politisi yang berkontestasi, pebisnis pun turut mewarnai meja pemerintahan.
Pengamat Politik UNJ & Direktur Puspol Indonesia Ubedilah Badrun menjelaskan pasca era reformasi, terutama sejak 2004, dunia politik mengalami pergeseran dari politik nilai dan politik pragmatis menjadi politik industrial dan politik pragmatis.
"Dalam situasi seperti ini pemilik modal mendapat ruang untuk mendirikan dan hampir sepenuhnya memiliki partai politik," jelas Ubedillah kepada KONTAN, Kamis (22/2).
Ketika politik sudah menjadi industri, maka sebuah proses kapitalisasi antara pemilik modal atau pengusaha akan mendorong kader partai untuk mengincar setidaknya tiga keuntungan besar.
Pertama benefit berupa akses terhadap kekuasaan. Kedua, adalah terakomodasinya kepentingan bisnis dalam regulasi yang diproduksi di lembaga legislatif. Ketiga, adalah keuntungan kemudahan akses dan kepastian dijalankannya regulasi yang menguntungkan oknum.
Potensi ini menjadi sangat besar mengingat isi Undang-Undang APBN 2018 yang disahkan parlemen dan pemerintah senilai Rp 2.221 triliun. Dus, dana besar ini dapat diperoleh pemilik modal atau pengusaha yang sekaligus memiliki partai untuk mengembangkan gurita bisnis mereka.
Dalam memetakan para pebisnis dalam partai politik ini, Pengamat politik dari Charta Politica Arya Fernandes memaparkan, setidaknya terdapat tiga pola pebisnis bercokol dibalik partai politik.
Pertama, adalah pola pebisnis menjadi donatur satu partai tunggal. Kedua, pebisnis menjadi donatur beberapa partai sekaligus, dan kemudian pebisnis menciptakan partai itu sendiri.
Pola pertama dapat dilihat dari diangkatnya Oesman Sapta Oedang sebagai ketua umum Partai Hanura. Oesman sendiri merupakan pemilik dari konglomerasi OSO Group yang didalamnya terdapat PT Citra Putra Mandiri, sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang agro bisnis, kelapa sawit, perikanan, properti hotel, tambang nikel, bauksit, batubara, perusahaan sekuritas, percetakan hingga penanganan bandara dan transportasi udara.
Arya menjelaskan, masuknya Oesman ke partai lantaran menciptakan partai baru tidak mudah sekalipun sebagai pengusaha besar. "Membesarkan partai tidak mudah, kaderisasi, perizinan, keuangan dan finansial. Jadi lebih baik mencari partai yang sudah establish," kata Arya. Pilihan OSO jatuh pada partai Hanura di mana ia menjadi ketua umum sejak tahun 2016.
Pola kedua tak mudah untuk diidentifikasikan. Pasalnya, transparansi sumber dana parpol cenderung tidak ada. Wajar, donasi dengan jumlah besar dari satu nama ke berbagai partai memberi kesan oportunis bagi sang miliarder penyumbang dana tersebut.
Ubedillah menyampaikan, metode terbaik untuk menilik pola ini dapat melalui menyelidiki arah pembahasan RUU APBN. "Dalam pembahasan tersebut terlihat misalnya partai mana saja yang saat membahas RUU APBN memperjuangkan nomenklatur anggaran tertentu," ungkapnya.
Sedangkan untuk pola ketiga dapat dilihat dari kisah dibangunnya partai Nasional Demokrat oleh Surya Paloh, Partai Gerindra oleh Prabowo Subianto, Partai Perindo oleh Hari Tanoesoedibjo dan Partai Berkarya dengan Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto.
Mengenai efektifitas dari pebisnis maupun donatur partai politik, dilihat dari besaran nilai sumbangan dan kontribusi tokoh pada partai politik. Ubedillah menyatakan pengaruh langsung dari posisi tokoh-tokoh ini dapat mengarahkan suara ribuan pegawai yang bekerja di bawah bendera perusahaan.
Tak lupa, media masa mainstream maupun media non mainstream dapat dijadikan sebagai media kampanye partainya.
Kemudahan akses media menjadi ciri khas pendiri Metro Tv dan MNC Group. Sedangkan mantan menantu Soeharto ini diketahui memiliki perusahaan bernama Nusantara Group yang membawahi 27 perusahaan di dalam dan luar negeri. Perusahaan-perusahaan yang dimiliki Prabowo bergerak di bidang perkebunan, tambang, batu bara, dan kelapa sawit.
Sedangkan putra bungsu presiden RI kedua ini merupakan pemimpin dari grup Humpuss, yang bergerak di bidang Pengiriman, Perdagangan Udara, Pertambangan dan Pertambangan, Perdagangan dan Distribusi Minyak, Perdagangan Hasil Pertanian dan Produk, Petrokimia, Properti, Aset dan Manajemen Portofolio.
Menghadapi ini, Arya melihat KPU harus lebih tegas menindak transparansi aliran dana kampanye. Pasalnya, tokoh-tokoh besar memang sudah dikenal, namun para cukong bisnis di balik layar juga harus disingkap.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News