Reporter: Nindita Nisditia | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) diperkirakan akan lebih rendah dari yang ditargetkan pemerintah tahun ini.
Perkiraan tersebut sejalan dengan rencana pemerintah untuk mengurangi penerbitan utang sebesar Rp 289,9 triliun, atau turun 41,6% dari target yang sebesar Rp 696,3 triliun APBN 2023.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual memperkirakan, rasio utang pemerintah pada akhir tahun 2023 akan berada pada kisaran 37% hingga 39%. Angka itu lebih rendah dari target pemerintah yang sekitar 40,5% hingga 42,3%.
David menilai, rasio utang tahun ini akan sulit berada di bawah 30% dari PDB. Meski begitu, menurutnya rasio pemerintah masih aman, sebab sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan No.1/2003 tentang Keuangan Negara, yakni rasio utang pemerintah adalah maksimal 60% dari PDB.
"Dalam jangka pendek akan sulit untuk kembali di bawah 30% PDB," terang David kepada Kontan.co.id, Rabu (5/7).
Baca Juga: Realisasi Pembiayaan Utang Pemerintah Mei 2023 Menurun Menjadi Rp 150,4 Triliun
Menurutnya, yang paling penting adalah mengupayakan utang pemerintah agar bisa optimal dan menggerakkan kegiatan ekonomi produktif sehingga ada daya ungkit bagi perekonomian nasional.
Dihubungi secara terpisah, Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga sepakat, rasio utang pemerintah terhadap PDB tahun ini akan turun dari target perkiraan. Hasil hitungannya rasio utang pemerintah tahun ini akan ada di kisaran 36% hingga 38% dari PDB.
Adapun Josua mengatakan, bila dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, seperti Malaysia dan Thailand, level rasio utang Indonesia masih cukup rendah, sehingga dapat dikatakan level utang pemerintah saat ini masih cukup aman.
Lebih lanjut, Josua juga memperkirakan, Indonesia masih akan menikmati windfall dari harga komoditas untuk penerimaan negara tahun ini.
Penerimaan negara tahun ini juga masih akan disokong oleh harga komoditas seperti batu bara, Crude Palm Oil (CPO), serta migas, yang masih relatif tinggi dibandingkan dengan sebelum windfall komoditas dan pandemi terjadi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News