Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah menghebohkan dunia dengan merilis Panama Papers, kemarin Minggu (5/11), International Consortium of Investigative Journalist (ICIJ) kembali merilis hasil investigasi global mengenai rahasia finansial kaum kaya dan berkuasa. Laporan ini dinamakan Paradise Papers.
Padahal, belum lama, Tanah Air dihebohkan dengan adanya transfer dana rekening Standard Chartered dari Guernsey milik nasabah WNI. Jumlahnya sekitar Rp 18 triliun.
Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan, hasil pendalaman dari Ditjen Pajak kepada dokumen-dokumen tersebut tidak bisa dibuka ke publik. Menurutnya, Ditjen Pajak dalam hal ini memiliki aturan atas WP tertentu karena rahasia jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 34 UU KUP dan Pasal 21 UU Amnesti Pajak
“Pasti kami kerjakan tetapi tidak bisa diumumkan,” katanya di Gedung Kementerian Keuangan (Kemkeu), Selasa (7/11).
Terpisah, Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak Yon Arsal mengatakan potensi dari dokumen-dokumen tersebut sudah digali oleh pihaknya. Sebagian dari WP yang namanya tercatut dalam dokumen-dokumen itu, menurut Yon, ada yang sudah ikut amnesti pajak.
Semua data dari dokumen-dokumen itu, menurut Yon, dikerjakan sesuai SOP di Ditjen Pajak, tanpa membeda-bedakan dengan dokumen lainnya, sehingga sebetulnya Panama Papers, transfer Stanchart, dan Paradise Papers yang baru ini muncul tidak diperlakukan secara spesial.
Yon mengatakan, pengerjaan data sesuai SOP sendiri melewati serangkaian proses. Begitu data diterima oleh Ditjen Pajak, data tersebut akan disandingkan dengan SPT. Kalau ada perbedaan, terlebih dahulu akan dilakukan cara halus, yaitu imbauan oleh para Account Representative.
Selanjutnya, WP terkait akan menyampaikan klarifikasi. Baru langkah selanjutnya kalau WP tidak datang atau tidak klarifikasi, maka akan diusulkan pemeriksaan. Sementara apabila klarifikasi dilakukan oleh tersebut dan pajak yang terutang dibayarkan, maka case closed.
“Kalau WP datanya valid tapi tidak mau bayar, SKP keluar nanti jadi tunggakan pajak, dan itulah yang nantinya akan dilakukan surat teguran, surat paksa, gizjeling. Jadi, data semua kami perlakukan sama treatment-nya,” kata Yon.
Direktur Eksekutif CITA Yustinus Prastowo mengatakan, dari peristiwa-peristiwa ini patut dijadikan pelajaran berharga untuk segera memperkuat Undang-undang Perpajakan dan aturan teknis lainnya. Adapun menurutnya, para pelaku praktik curang mengelabuhi pajak perlu dilakukan naming and shaming atau menunjuk hidung dan mempermalukan seperti yang telah dilakukan di banyak negara di Eropa.
“Ini perlu dilakukan agar praktik hidup berbangsa dan bernegara kembali bersandar pada standar nilai luhur, antara lain penghormatan pada hak negara dan tanggung jawab terhadap sesama,” kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News