Reporter: Dyah Megasari |
JAKARTA. Berurusan dengan usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM memang harus ekstra peka. Sebab, tidak sedikit dari mereka memulai usaha dengan modal yang seadanya. Mereka juga adalah orang-orang yang berani karena mau berupaya sendiri, tidak bergantung pada lapangan kerja formal yang ada. Sukses masih gelap, tetapi merugi hal pasti.
Dan, asal tahu, jumlah UMKM atau UKM di Indonesia cukup meyakinkan. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah per Juni 2013, saat ini ada 55,2 juta UKM atau 99,98% dari total unit usaha di Indonesia. Dan, UKM ini menyerap 101,72 juta tenaga kerja atau 97,3% dari total tenaga kerja Indonesia. UKM juga menyumbang 57,12% dari produk domestik bruto (PDB), kini menyampaikan Rp 8.200 triliun.
Karena jumlah yang besar dan peran yang cukup signifikan pada perekonomian, ketika Menteri Keuangan menetapkan skema pajak UKM yang mulai berlaku 1 Juli nanti, banyak yang menuangkan keberatan. Skema pajak ini untuk usaha yang memiliki omzet kurang dari Rp 4,8 miliar per tahun. Besar pajak adalah 1% dari omzet bulanan.
Dilihat dari skema pajak yang ada, jelas UKM akan dipungut 1 persen dari omzet dan bukannya berdasarkan dari keuntungan yang kena pajak, sebagaimana lazimnya pungutan pajak pada perusahaan. Omzet selalu ada. Namun, keuntungan yang kena pajak bisa tidak ada apabila biaya operasional lebih besar daripada pendapatan. Jadinya perusahaan bebas dari pungutan pajak. Namun, bagi UKM yang berperan begitu signifikan tetap dipungut pajak karena berdasarkan omzet yang ada.
Dalam hal ini bisa dipahami kalau muncul tuduhan bahwa skema pajak ini sangat tidak adil, terutama bagi pihak UMKM. Peran mereka yang menyumbang 57,12% dari PDB diabaikan. Keberhasilan mereka membantu pemerintah menampung 101,72 juta tenaga kerja juga seakan tak bermakna apa-apa.
Namun, alasan pemerintah yang diwakili Menteri Keuangan M Chatib Basri juga cukup masuk akal. Pengenaan pajak atas UKM ini dalam upaya mendorong pengembangan usaha ini memasuki sektor formal. ”Ini insentif untuk menjadi sektor formal karena banyak sektor yang potensial, tapi belum creditable (layak untuk diberikan kredit),” ujar Menkeu.
Sejauh ini disadari bahwa banyak kelompok UKM yang belum membayar pajak secara layak. Akibatnya, pihak perbankan tidak berani memberikan kredit untuk pengembangan usaha. Padahal, UKM sangat membutuhkan modal.
Jadi, upaya pengenaan pajak atas UKM ini untuk perbaikan dan pengembangan usaha mereka. Dengan rela membayar pajak, sebagai balasannya mereka bisa mendapat akses kredit dan permodalan dari perbankan. Jelas skema pajak ini bisa membuat jumlah UKM di negeri ini meningkat dari 55,2 juta unit saat ini. Tenaga kerja yang ditampung juga bisa lebih dari 101,72 juta orang. Perekonomian sebuah negara menjadi kuat dan tangguh jika bertumpu pada UKM yang dominan dan sehat. (Pieter P Gero/Erlangga Djumena/Kompas.com)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News