kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Dampak kenaikan harga BBM di semua sektor usaha


Rabu, 26 Juni 2013 / 16:18 WIB
Dampak kenaikan harga BBM di semua sektor usaha
ILUSTRASI. Lowongan Kerja PPNPN Kementerian Agama Januari 2022.


Reporter: Anastasia Lilin Y | Editor: Imanuel Alexander


Jakarta. Dua minggu terakhir ini harga jual daging kebab dan daging burger merek Sahara Kebab dinaikkan. Harga daging kualitas pertama naik 8,69% menjadi Rp 50.000 per kg. Sementara daging kualitas kedua, naik lebih tinggi, yakni 12,94%. Kalau dulu, harga adalah Rp 42.500 per kg, kini menjadi Rp 48.000 per kg.

Sahara Kebab adalah produk besutan CV Sahara Bogatama di Bekasi. Perusahaan ini memasok daging kebab dan burger ke berbagai pengusaha di seluruh Indonesia sejak 1999.

M. Iqbal Nur Al-Rasyid, Direktur CV Sahara Bogatama, menjelaskan perusahaan terpaksa menaikkan harga jual karena tertekan kenaikan harga daging sapi yang sudah menanjak sejak awal tahun. Harga daging sapi yang biasanya mentok di harga Rp 70.000 per kg, betah ada di Rp 90.000–Rp 100.000 per kg, hingga Iqbal bercerita kepada KONTAN, Rabu (19/6).

Tak cuma daging sapi, bahan baku untuk membumbui daging kebab dan daging burger seperti bawang-bawangan juga belum mau turun hingga ke harga normal. Ambil contoh, bawang bombay yang masih seharga Rp 90.000 per kg, Februari lalu, pada pertengahan Juni ini, sudah bernilai Rp 200.000 per kg.

Memang, bicara soal harga daging sapi dan bawang-bawangan, perhatian pelaku pasar tidak terlepas dari kisruh kuota impor daging sapi dan bawang yang sempat mencuat awal tahun kemarin. Namun di lapangan, Iqbal juga menemui sebab lain. “Pemasok bilang harga solar mau naik jadi biaya angkut dinaikkan,” ungkap dia.

Iqbal menuding, keragu-raguan pemerintah dalam memutuskan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) adalah musabab harga bahan baku produknya terangkat. Sejak pemerintah menunda kenaikan BBM pada 2011 silam, pasar sudah lebih dulu merespon kenaikan bahan baku.

Wahyudi Nasution, pemilik Bunda Collection, usaha yang memproduksi aneka jilbab dan seragam sekolah di Jatinom, Klaten, membenarkan cerita Iqbal. Meski harga bahan baku kain, kebutuhan dia, belum naik tapi kebutuhan pokok berupa bahan pangan sudah naik.

Melihat usaha yang digeluti Wahyudi, bahan makanan memang seperti tak bertalian langsung dengan usahanya. Namun, toh kenaikan sejumlah harga bahan pangan menjadi keluhan yang dilontarkan karyawan. Dengan kata lain, para karyawan sudah mendesak minta penyesuaian upah. Saat ini Bunda Collection mempekerjakan 40 orang karyawan. Biaya upah pekerja ini mencuil 30% dari total semua biaya produksi.

Kenaikan BBM juga bakal mengancam pembengkakan biaya operasional mesin diesel. Pengakuan Wahyudi yang tinggal di Kecamatan Jatinom, Klaten, listrik di daerahnya hobi padam. Alhasil, demi usaha jahit-menjahit tetap berjalan, mesin diesel menjadi solusi. Kebutuhan solar untuk sehari produksi sampai 12 liter. Jika berangkat dari wacana yang berkembang bahwa solar bakal menjadi Rp 5.500 per liter, maka per hari dia harus mengeluarkan uang Rp 66.000. Atau naik 22,22% dari pengeluaran saat harga solar Rp 4.500 per liter.

Masalah lain, Wahyudi masih tercatat memiliki kredit usaha di salah satu perbankan dengan bunga 10,5% per tahun. Dia khawatir persentase bunga kredit ini juga bakalan ikut terkerek.

Tak cuma transportasi

Kalau dihitung-hitung, porsi biaya transportasi yang ditentukan oleh harga bahan bakar, bagi Sahara Bogatama dan Bunda Collection memang tidak besar. Biaya transportasi Bunda Collection hanya setara 10% dari total biaya produksi. Sementara di Sahara Bogatama 5% sampai 10%. Untuk mendistribusikan produk di dalam kota, perusahaan ini menggunakan armada pribadi. Kalau di luar kota, pengelola Sahara memanfaatkan jasa logistik.

Nah besar-kecil biaya distribusi yang memakai jasa logistik ini sangat tergantung pada kebijakan perusahaan logistik. Sejauh ini perusahaan logistik rekanan sahara Bogatama belum menaikkan harga. Harga rata-rata pengiriman dengan bus Rp 5.000 per kg dan dengan kereta api Rp 1.500 per kg. Sementara jika menggunakan pesawat Rp 10.000 per kg.

Agnes Tandia, pemilik kerajinan sepatu Kulkith Shoes di Bandung, juga mengaku pos biaya transportasi hanya di bawah 5%. Sebab, dengan mengandalkan penjualan online, ongkos kirim barang ditanggung langsung oleh pembeli.

Meski begitu, para pemasok bahan baku sepatu seperti pemasok sol, kulit, dan lem sudah mewanti-wanti Agnes sejak pekan lalu kalau harga akan naik sekitar 20%. “Baru diberi tahu tapi realisasinya melihat nanti setelah harga BBM resmi dinaikkan,” ujar perempuan 25 tahun ini. Catatan terakhir Agnes, harga sol per sepatu Rp 10.000, kulit Rp 15.000 per sepatu, sedangkan lem seberat 5 kg berharga Rp 40.000.

Excecutive Director of Small and Medium Enterprise Development Center Universitas Gadjah Mada (SMEDC UGM) Gatot Murdjito berpendapat, dampak kenaikan harga BBM tidak akan berakibat tunggal. Namun, rentetan kenaikan harHarga ga barang lain akibat efek domino juga menjadi ancaman bagi para pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM).

Buah simalakama

Meski sudah mendapat gambaran harga bahan baku bakal naik tapi Agnes masih mempertahankan harga hingga kini. Supaya konsumen tidak syok, dia malah berencana untuk tidak menaikkan harga hingga lima bulan pasca harga BBM dinaikkan. Dengan konsekuensi harus rela memangkas margin terlebih dahulu.

Lain dengan Bunda Collection yang sudah menimbang bakal segera melakukan penyesuaian harga jual. Pengalaman tahun 2008 kemarin, pasca harga BBM dinaikkan, perusahaan ini menaikkan harga jual produk 5%–10%. “Kemungkinan nanti juga akan naik sebesar itu,” ujar Wahyudi yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) wilayah Klaten. Harga jual jilbab Bunda Collection saat ini Rp 40.000–Rp 65.000 per potong.

Para pelaku UMKM ini sadar, menaikkan harga tidak mudah mereka lakukan. Sebab ada risiko bakal ditinggal pelanggan. Namun seperti makan buah simalakama, tidak ada pilihan lain yang tersisa. Iqbal mengaku sejak menaikkan harga, dua pelanggan besarnya menghentikan pemesanan. Padahal, dua pelanggan tersebut memberi kontribusi hingga 10% dari total penjualan. Belum lagi, ada pelanggan yang mulai mengurangi volume pesanan. “Kalau biasanya per hari memproduksi 2 ton, sejak harga naik, turun menjadi 1,5 ton,” aku Iqbal.

Di sisi lain, efisiensi biaya produksi di berbagai lini juga dilakukan. Seperti, mematikan pendingin daging pada waktu-waktu tertentu.

Namun efisiensi hanya bisa dilakukan terkait hal internal. Sementara kendala nyata yang dialami pengusaha seperti dia di ibukota adalah infrastruktur yang masih amburadul. Jalan rusak dan kemacetan tersebut menyebabkan biaya operasional jauh dari kata efisien.

Iqbal pun menyayangkan keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM yang tak dibarengi kebijakan atau langkah nyata untuk mendukung pelaku UMKM. “Mau naik berapa pun tak jadi masalah asal infrastruktur bisa diandalkan dan ada iklim positif bagi UMKM,” tandas Iqbal.

Tak cuma jenis UMKM yang cemas, kelompok pengusaha jasa logistik yang tergabung dalam Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) juga ketar-ketir dengan keputusan kenaikan harga BBM. Maklum, sumbangsih biaya bahan bakar untuk jasa pengantaran paling tidak 20% dari total biaya produksi. Padahal kenaikan BBM biasanya langsung dibuntuti kenaikan barang turunannya seperti suku cadang, ban dan pelumas.

Ketua ALFI Soekarno-Hatta Arman Yahya mengatakan, harga suku cadang, ban, dan pelumas tersebut malah sudah mulai naik. Arman juga menuding keragu-raguan pemerintah untuk mengambil keputusan soal BBM jadi biang keladi. Malah, dia menduga ada beberapa pihak yang memanfaatkan momen untuk menimbun barang. Tak heran jika pelaku usaha mengeluhkan harga bahan baku sudah naik duluan.

Kalau mau dinaikkan, lanjut Arman, mestinya pemerintah segera merealisasikan saja rencana tersebut. Dengan hitungan kasar, para pengusaha jasa pengantaran berpeluang menaikkan ongkos 10% jika BBM
dinaikkan.

Meski, sejatinya asosiasi menolak kenaikan harga BBM pada besaran berapa pun. “Ini bernuansa politis karena tim-timtimtiming-nya tepat sebelum 2014,” tuding Arman.

Pendapat berbeda meluncur dari Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Franky Sibarani. Dia bilang Gapmmi siap dengan rencana kenaikan BBM. Bahkan dengan pertimbangan biaya distribusi hanya 0,5%–2% dari total biaya produksi dan ongkos solar adalah 25% dari porsi 05%–2% tersebut, mestinya, tak ada alasan bagi pengusaha untuk menaikkan harga jual. “Kalau solar naik Rp 1.000 maka kontribusi solar ke biaya distribusi akan menjadi 30%, atau naik 5%, dibandingkan sebelum solar naik,” tutur Franky.

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 39 - XVII, 2013 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×