Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyimpulkan penerimaan pajak pada sektor mineral dan batubara (minerba) tidak optimal. Hal tersebut disimpulkan berdasarkan kajian optimalisasi penerimaan pajak dengan studi kasus pertambangan minerba yang dilakukan pada Agustus 2013 hingga Maret 2014.
Dari hasil kajian tersebut ditemukan sejumlah permasalahan yang mengakibatkan tidak terpungutnya pajak secara optimal karena tidak dapat dihitungnya potensi penerimaan pajak yang akurat dari sektor ini. Ada tujuh permasalahan ditemukan baik dari aspek tata laksana, regulasi, dan manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) pada Direktorat Jenderal Pajak.
"Dalam studi kita ada banyak temuan yang kita dapatkan, pertama belum akuratnya data NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) pada sektor pertambangan," kata Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja dalam konferensi persnya Rabu, (23/4) sore.
Lebih lanjut menurut Andan, dari sekitar 3.826 pemegang usaha pertambangan, hampir 25% atau sebanyak 724 pengusaha tidak memiliki NPWP. Bahkan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang statusnya clean and clear masih ditemukan ada yang tidak memiliki NPWP.
Permasalahan berikutnya, yakni kurangnya data pendukung, khususnya data produksi dalam data produksi dalam perhitungan potensi pajak. Jadi banyak perbedaan data produksi batubara dari Ditjen Minerba, Badan Pusat Statistik, World Coal Association, dan US Energy Information Administration.
"Misalnya data Dirjen Pajak Minerba DJNP tahun 2012 data pemerintah US$ 228 juta, tapi data World Coal Association US$ 443 juta, data US Energy Information Products US$ 452 juta," tambah Adnan.
Masalah ketiga yakni adanya multitafsir penerapan aturan pengenaan pajak atas PPN, PPh dan pajak penjualan. Akibatnya, potensi korupsi oleh petugas dan wajib pajak dengan memilih tafsir aturan yang dianggap menguntungkan.
Kemudian, terkait keterbatasan peraturan tentang perolehan data eksternal perpajakan yang mengatur kewenangan DJP untuk meminta data eksternal dari instansi terkait. Keterbatasan data pembanding mengakibatkan sulitnya pengawasan terhadap petugas pajak dan wajib pajak yang membuka peluang terjadinya tindak pidana korupsi antara wajib pajak dan petugas pajak.
Masalah selanjutnya yakni proporsi pegawai DJP saat ini sekitar 60% adalah non pengawasan dan hanya 40% untuk pengawasan. Waktu pemeriksa pajak juga lebih banyak dihabiskan untuk pemeriksaan rutin lebih bayar dan bukan pemeriksaan kurang bayar atau pemeriksaan berdasarkan analisis risiko.
Selain itu, fungsi analisis potensi pajak pada DJP belum optimal. Hal ini mengakibatkan DJP kesulitan dalam membuat estimasi penerimaan pajak dan menentukan besaran potensi pajak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News