kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Ditjen Pajak nyerah kejar pajak di sektor tambang


Rabu, 26 Maret 2014 / 21:30 WIB
Ditjen Pajak nyerah kejar pajak di sektor tambang
ILUSTRASI. Proyek apartemen South Quarter Residence di Jakarta Selatan yang dikembangkan PT Intiland Development Tbk (DILD).


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Sanny Cicilia

BANJARMASIN. Direktorat Jenderal Pajak harus mengakui kesulitan untuk menggenjot setoran pajak di sektor pertambangan mineral dan batubara (minerba). Ada keterbatasan kemampuan untuk menghitung surat pemberitahuan (SPT) pajak pelaku usaha pertambangan minerba.

Dirjen Pajak Fuad Rahmany menyebutkan ada kewajiban dalam peraturan perundangan yang menegaskan provinsi, kabupaten/kota wajib menyampaikan data ke pemerintah pusat. Selain itu juga ada kewajiban pelaku usaha lapor ke pemberi izin usaha pertambangan (IUP). "Yang lebih parah kita menggantungkan diri pada wajib pajak (wp) ini. Padahal mereka bohong memberikan informasi," katanya, Rabu (26/3).

Fuad menegaskan pihaknya meyakini pelaku usaha dalam hal ini selaku wp selalu saja berupaya untuk tidak bayar pajak yang sebenarnya. Tantangan Ditjen Pajak dalam hal ini membuktikan kebenaran data tersebut. "Tidak cukup mengatakan mereka wajib melapor," jelasnya.

Fuad memberi contoh salah satu wp di Jakarta disebutkan harus membayar pajak Rp 44 miliar. Tapi saat lapor pajak SPT hanya membayar Rp 8 juta. Tapi akhirnya Ditjen Pajak mampu membuktikan melalui data bahwa wp tersebut harus bayar Rp 44 miliar. "Kasus ini ada ratusan ribu di sektor pertambangan," jelasnya.

Potensi kehilangan penerimaan pajak capai Rp 20 triliun

Sayangnya, Ditjen Pajak harus percaya atas penyampaian SPT yang disampaikan wp di sektor pertambangan ini. "Ditjen Pajak angkat tangan, kami tidak mampu di sektor pertambangan," ujarnya.

Data yang selama ini yang disodorkan pemerintah daerah dan Kementerian Energi Sumberdaya Alam (ESDM) justru lebih sifatnya mengkonfiramasi laporan dari wp. Tapi kenyataanya ditemui fakta adanya selisih perhitungan data berbeda antara Badan Pusat Statistik (BPS) dengan data ESDM dan perusahaan publik.

Dimana selisih itu mengartikan adanya potensi produksi batubara tidak teridentifikasi mencapai 56,3 juta. "Ini belum ditambah dengan angka penyelundupan yang mencapai 150 juta ton," jelasnya.

Lantaran itu, sudah seharusnya ada mekanisme yang bisa memastikan atas data-data tersebut. Ditjen Bea Cukai tidak mempunyai kemampuan untuk menghitung kuantitas dan kualitas minerba. "Negara harus ada kemampuan untuk menghitung ini, entah ada lembaga independen atau melalui surveyor," tegasnya.

Kalau tidak, potensi pendapatan negara dari sektor pertambangan yang hilang mencapai Rp 20 triliun. Itu karena kehilangan dari kewajiban setor pajak perusahaan yang dikenakan misal PPh Pasal 21, PPh Pasal 15, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 4 (2). Belum lagi setoran penerimaan negara bukan pajak (PnBP).

Sementara itu, Direktur Utama Surveyor Indonesia, M Arif Zainuddin mengaku siap kalau mendapatkan penugasan untuk melakukan penilaian atas data hasil tambang. Sejauh ini pihaknya sudah berkerjasama dengan Kementerian Perdagangan menyangkut ekspor hasil tambang. "Kita sudah siapkan alatnya, meski alat ukur itu masih terbatas. Nanti akan disesuaikan sesuai permintaan," jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×