Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Tiada hari tanpa menggali potensi pajak. Slogan itu agaknya pas menjadi semboyan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) yang terus menguber setoran pajak.
Yang terbaru, Ditjen Pajak mengincar potensi tambahan setoran pajak dari transaksi saham dan properti. Memang, yang akan dilakukan Ditjen Pajak bukan menerapkan pajak baru di dua transaksi ini, melainkan menggenjot penerimaan bea meterai transaksi saham, jual-beli surat berharga dan transaksi properti.
Ditjen Pajak akan menerapkan bea meterai berdasarkan persentase dari nilai transaksi (ad valorem). Cara ini menggantikan penggunaan tarif tetap meterai senilai Rp 3.000 dan Rp 6.000 seperti yang berlaku saat ini.
Nah, rencana ini akan dituangkan dalam revisi Undang-Undang (UU) Nomor 13/1985 tentang Bea Meterai. Revisi UU Bea Meterai ini sudah masuk program legislasi nasional sehingga akan dibahas dan disahkan tahun ini. "Revisi UU ini didahulukan," kata Sigit Priadi Pramudito, Direktur Jenderal Pajak, Senin (9/3).
Irawan, Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak menambahkan, pengenaan besaran bea meterai itu sesuai standar internasional. Sejumlah negara telah menerapkan aturan bea meterai ad valorem, antara lain, Singapura.
Sigit dan Irawan belum mau membuka kisaran tarif bea meterai terhadap dokumen transaksi saham maupun properti. Irawan mencontohkan, taruh kata tarif meterai sebesar 1% dari transaksi. Artinya, "Jika nilai transaksinya Rp 1 juta, ya, dikenai bea meterai 1% dari Rp 1 juta," kata Irawan.
Pola baru ini memang berpotensi mengerek pendapatan pemerintah. Maklum, nilai transaksi saham, misalnya, mencapai triliun rupiah. Belum lagi transaksi surat utang dan efek berharga lain, plus potensi transaksi properti.
Sebagai gambaran, sepanjang Januari 2015, nilai transaksi saham di Bursa Efek Indonesia mencapai Rp 136,6 triliun. Taruh kata bea meterainya 0,1%, pemasukannya Rp 136,6 miliar per bulan atau Rp 1,63 triliun per tahun, hanya dari transaksi saham.
Tentu saja, perubahan bea meterai ini bisa memberatkan investor. Selama ini setiap transaksi saham sudah dikenai biaya komisi broker saham, pajak penghasilan, serta biaya bursa.
Oleh karena itu, pengamat pajak, Yustinus Prastowo menyarankan pemerintah menaikkan tarif bea meterai dan menerapkan tiga skema tarif tetap. Pertama, untuk dokumen non komersial, pemerintah mengenakan meterai Rp 10.000 per dokumen.
Kedua, dokumen transaksi bersifat komersial bernilai Rp 2 juta-Rp 1 miliar, pemerintah bisa mengenakan bea meterai Rp 20.000.
Ketiga, dokumen komersial dengan nilai transaksi di atas Rp 1 miliar, dikenakan bea meterai Rp 50.000. "Optimalisasi pajak cukup dari Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai agar tak tumpang tindih," kata Prastowo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News