Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wewenang Menteri Keuangan (Menkeu) segera diperluas dengan dalih pencegahan dan penangan krisis keuangan. Sebab, payung hukum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 2016 tentang Penanganan dan Pencegahan Krisis Sistem Keuangan dinilai belum kuat.
Penguatan peran Menkeu tersebut dicanangkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Sektor Keuangan atau RUU tentang Penanganan Permasalahan Perbankan, Penguatan Koordinasi, dan Penataan Ulang Kewenangan Kelembagaan Sektor Keuangan.
Dalam beleid yang didapat Kontan.co.id tersebut, Menteri Keuangan yang semulanya bertindak sebagai koordinator Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) diubah menjadi Ketua KSSK.
Menkeu pun diberikan kewenangan untuk mengambil keputusan jika musyawarah untuk mufakat di dalam rapat KSSK tidak tercapai. Artinya putusan final KSSK berada di tangan Menkeu.
Baca Juga: Sri Mulyani sebut butuh pertumbuhan ekonomi 8% agar Indonesia menjadi negara maju
Sementara Gubernur Bank Indonesia (BI), Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebatas anggota KSSK.
“Dalam hal musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, Menkeu sebagai Ketua KSSK mengambil keputusan atas nama KSSK. Keputusan KSSK dalam rapat KSSK dan/atau pelaksanaan dari keputusan tersebut oleh setiap anggota KSSK sah dan mengikat setiap anggota KSSK dan/atau pihak terkait,” sebagaimana Pasal 38 Ayat 4 dan 5 RUU Omnibus Law Sektor Keuangan dikutip Jumat (27/11).
Merujuk Naskah Akademik RUU Omnibus Law Sektor Keuangan, status Menkeu sebagai Ketua KSSK dilandasi masalah koordinasi antar lembaga KSSK dianggap tidak efektif dan efisien dalam menangani krisis finansial.
Sebab, posisi Menkeu saat ini hanya sebagai koordinator dan tidak dapat mengambil keputusan akhir atas nama KSSK. Sementara itu, keputusan akhir KSSK dapat berpotensi mempengaruhi kebijakan fiskal, dalam pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan.
Tidak hanya itu, kuasa Menteri Keuangan akan membayangi pengawasan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan rencana dibentuknya Dewan Pengawas yang beranggotakan lima orang dengan masa jabatan selama tiga tahun.
Komposisi tiga di antaranya yakni, dua orang anggota dipilih oleh Presiden atas usulan Menteri Keuangan. Lalu, satu orang anggota Dewan Pengawas hasil usulan Menteri Keuangan yang bisa berasal dari perwakilan industri perbankan sebagai anggota Dewan Pengawas Bank Indonesia, atau satu orang yang berasal dari industri keuangan, pasar modal dan/atau industri keuangan non-bank sebagai Dewan Pengawas OJK.
Adapun tugas Dewan Pengawas BI di antaranya meminta penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenang BI, kecuali kebijakan moneter.
Baca Juga: Tiga RUU belum disepakati, Prolegnas Prioritas 2021 diputuskan hari ini
Lalu, melakukan pemeriksaan sewaktu-waktu dengan tujuan tertentu dalam hal berdasarkan evaluasi terdapat indikasi penyimpangan yang dilakukan oleh BI. Serta mengevaluasi kode etik dan pedoman perilaku anggota Dewan Gubernur.
Dari sisi Dewan Pengawas OJK antara lain berwenang memita penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tugas dan wewenang OJK, melakukan pemeriksaan apabila ada indikasi penyimpangan yang dilakukan oleh OJK, dan mengevaluasi kode etik anggota Dewan Komisioner OJK.
Selanjutnya, seluruh evaluasi Dewan Pengawas BI dan Dewan Pengawas OJK akan diberikan kepada Presiden untuk seterusnya diberikan keputusan atas temuan dari BI dan OJK.
“Presiden memberhentikan anggota Dewan Gubernur BI setelah mempertimbangkan penilaian dari Dewan Pengawas BI dan mengusulkan penggantinya kepada DPR,” sebagaimana Pasal 71 Ayat 2 RUU Omnibus Law Sektor Keuangan.
Beleid sapu jagad sektor keuangan ini juga memperkuat peranan LPS. Salah satunya, Ketua Dewan Komisioner LPS juga ikut dalam mengambil keputusan secara musyawarah untuk mufakat dalam rapat KSSK. Dari sebelumnya merupakan anggota KSSK yang tidak berhak memberikan suara dalam mengambil keputusan.
Penguatan LPS ini juga tidak terlepas dari campur tangan Menteri Keuangan. Beleid ini menyebutkan, anggota dewan komisioner LPS berjumlah paling banyak lima orang yang terdiri dari empat orang anggota yang berasal dari dalam atau luar struktur kelembagaan LPS.
Dua di antara empat orang anggota Dewan Komisioner LPS tersebut diusulkan oleh Menkeu. Plus, satu orang anggota ex-officio dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang merupakan pejabat paling rendah setingkat eselon I pada Kemenkeu yang juga ditunjuk oleh Menkeu.
Adapun anggota dewan komisioner LPS diangkat oleh Presiden atas usulan Menteri Keuangan. Selain itu, Menteri Keuangan berwenang memberikan penilaian kepada LPS sebagai rekomendasi penilaian akhir oleh Presiden.
Baca Juga: Pengusaha setuju UMP tahun 2022 mengacu ke UU Cipta Kerja
Merujuk Naskah Akademik RUU Omnibus Law Sektor Keuangan, penilaian yang dimaksud antara lain berupa rekomendasi adanya pelanggaran kode etik dan perilaku, serta tidak melaksanakan, atau lalai, atau tidak menjalankan dengan baik fungsi, tugas, dan wewenang berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Sebagai informasi, Ketua Badan Legislasi Dewan DPR RI Supratman Andi Agtas memastikan pihaknya sudah menerima draf RUU tentang Penanganan Permasalahan Perbankan, Penguatan Koordinasi, dan Penataan Ulang Kewenangan Kelembagaan Sektor Keuangan.
Dia bilang, RUU yang menyelaraskan 13 UU tersebut bakal dimasukkan dalam daftar program legislasi nasional (Prolegnas) 2021.
Sementara, penanggung jawab pembahasannya akan ditentukan oleh Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI setelah putusan Rapat Paripurna. “Usulan (RUU) dari pemerintah dan Komisi XI DPR,” kata Andi kepada Kontan.co.id, Rabu (25/11).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News