Reporter: Arif Ferdianto | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaksanaan program strategis Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan pagu anggaran jumbo Rp 71 triliun pada tahun 2025 mendapat sorotan tajam dari Ombudsman Republik Indonesia.
Berdasarkan hasil kajian cepat (Rapid Assessment), Ombudsman menemukan adanya empat potensi maladministrasi serius yang menghantui program ini, mulai dari penundaan berlarut hingga penyimpangan prosedur di lapangan.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menjelaskan, potensi maladministrasi itu mencakup penundaan berlarut dalam proses verifikasi dan pembayaran, praktik diskriminasi dalam pemilihan mitra, tindakan tidak kompeten dalam operasional, serta penyimpangan prosedur dalam pengadaan bahan baku.
Menurutnya, program yang menyasar 82,9 juta penerima manfaat ini terancam gagal mencapai sasaran jika tata kelola tidak segera dibenahi.
Baca Juga: BGN: 10.012 Dapur Program Makan Bergizi Gratis Terbentuk per 1 Oktober 2025
"Hingga September 2025, kami mencatat baru 26,7% Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang berfungsi. Kesenjangan ini menimbulkan risiko besar tidak tercapainya target layanan di tahun berjalan," ujarnya melalui keterangan resmi, Rabu (1/10/2025).
Secara rinci, maladministrasi ini terwujud dalam berbagai bentuk, potensi diskriminasi misalnya, muncul dari adanya afiliasi yayasan mitra dengan jejaring politik yang rawan konflik kepentingan.
Sementara penyimpangan prosedur ditemukan dalam bentuk pengadaan beras kualitas medium padahal kontraknya premium. Dari sisi kompetensi, banyak dapur yang abai pada standar operasional prosedur (SOP) seperti tidak menyimpan catatan suhu atau retained sample.
Dari empat temuan besar itu, Ombudsman mengidentifikasi delapan masalah krusial di lapangan yakni maraknya kasus keracunan massal, penetapan mitra yang tidak transparan, keterlambatan honorarium yang membebani guru dan relawan, mutu bahan baku yang inkonsisten, hingga sistem pengawasan yang masih bersifat reaktif dan belum terintegrasi berbasis data.
"Delapan permasalahan tersebut menimbulkan risiko turunnya kepercayaan publik, bahkan telah memicu kekecewaan dan kemarahan masyarakat," tegas Yeka.
Menurutnya, kondisi ini menjadi pengingat keras bahwa prinsip pelayanan publik seperti kepastian, akuntabilitas, dan keterbukaan sebagaimana diamanatkan UU Nomor 25 Tahun 2009 harus ditegakkan tanpa kompromi.
Baca Juga: Cegah Keracunan MBG Terulang, BGN Nonaktifkan Puluhan SPPG
Untuk itu, Ombudsman RI mendesak pemerintah, khususnya Badan Gizi Nasional (BGN) selaku koordinator, untuk segera melakukan perbaikan mendasar.
Rekomendasi utamanya adalah menyempurnakan regulasi kemitraan, melibatkan penuh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam pengawasan, membangun dashboard digital untuk pemantauan real-time, serta menjamin perlindungan dan kompensasi bagi guru yang terlibat.
Terkait evaluasi SPPG, lanjut Yeka, bagi SPPG yang telah menimbulkan insiden kesehatan harus dihentikan untuk dievaluasi total, sementara yang belum beroperasi wajib memenuhi sertifikasi keamanan pangan.
"Pada akhirnya keberhasilan MBG dilihat dari tata kelola yang baik, penggunaan anggaran yang akuntabel, dan penerapan sertifikasi pangan menuju zero accident di setiap SPPG," pungkasnya.
Baca Juga: BGN: Ada 6.457 Orang Keracunan Menu MBG per 30 September 2025
Selanjutnya: Wall Street Melemah Pasca Data Penggajian Melemah dan Shutdown Pemerintah AS
Menarik Dibaca: IHSG Rawan Konsolidasi, Simak Rekomendasi Saham MNC Sekuritas Kamis (2/10)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News