Reporter: Fahriyadi | Editor: Fahriyadi .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana pemerintah untuk mengatur ojek online (ojol) dikhawatirkan akan menjebak driver ojol ke dalam pekerjaan tanpa karier. Pemerintahan baru Prabowo Subianto diharapkan fokus memikirkan strategi untuk meningkatkan keahlian driver ojol melalui upskilling dan reskilling ketimbang menjadikan ojol sebagai pekerjaan formal.
Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah mengatakan, di tengah tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) dan terbatasnya lapangan kerja formal, profesi sebagai driver ojol menjadi penyelamat bagi pekerja yang keluar dari pekerjaan formal. Bahkan, platform ride hailing menjadi pilihan pertama saat seseorang memasuki dunia kerja informal.
Berdasarkan hasil survei berjudul Potret Beban Kerja dan Penghasilan Pekerja Informal di Indonesia: Studi Kasus Jabodetabek, Yogyakarta, dan Makassar yang digelar Segara Research Institute, profesi sebagai driver ojol memiliki hambatan untuk masuk yang relatif rendah dengan persyaratan bekerja yang minimal. Selain tidak ada persyaratan pendidikan, juga tidak ada modal yang memberatkan.
Dibandingkan pekerjaan informal lainnya, profesi sebagai driver ojol juga menawarkan berbagai kelebihan. Berdasarkan survei yang dilakukan tersebut, profesi sebagai driver ojol menawarkan fleksibilitas kerja yang tinggi, memberikan fasilitas yang memadai dari sisi jaminan keselamatan kerja maupun jaminan kesehatan, dan memberikan pendapatan yang lebih tinggi.
"Pekerjaan sebagai driver ojol menawarkan beberapa kelebihan, yakni fleksibilitas, kemudahan untuk dimasuki, dan memberikan income yang cukup. Mereka merupakan pekerja mandiri, bukan pegawai platfrom melainkan difasilitasi oleh platform digital," ujar Piter, Kamis (24/10).
Menurut Piter, platform ride hailing telah menjadi penyelamat di saat pemerintah gagal menyediakan lapangan pekerjaan formal. Karena itu, tugas pemerintah bukanlah memformalkan pekerjaan informal. Sebab, pekerjaan informal hanyalah penampung sementara.
Hal senada diungkapkan oleh Budi Santoso. Pakar Hukum Ketenagakerjaan Universitas Brawijaya ini mengatakan, berdasarkan rekomendasi International Labour Organization (ILO), hubungan ojol dengan perusahaan memang menunjukkan bahwa pengemudi ojol bukan pekerja.
Berdasarkan riset yang digelar oleh Pusat Pengembangan Hukum Ketenagakerjaan (P2HK) Universitas Brawijaya, ekonomi gig menjadi pilihan di tengah keterbatasan pasar kerja. Berdasarkan survei yang digelar P2HK tersebut, sebanyak 81,2% responden menjadikan ojol sebagai pekerjaan utama.
Yang menarik, sebanyak 77,5% responden sebetulnya memiliki keinginan untuk beralih ke pekerjaan lain di kemudian hari. Sayangnya, keterbatasan pilihan membuat mereka bertahan. Itu sebabnya, dibutuhkan peningkatan keahlian di luar pekerjaan sebagai pengemudi ojol.
"Perlu adanya upskilling dan reskilling di luar mengemudi untuk meningkatkan kapasitas kemampuan pekerja gig agar bisa masuk ke sektor formal atau pekerjaan yang lebih baik,” kata Budi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News