Reporter: Benedicta Prima | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis kondisi neraca perdagangan Februari 2019. Cukup menggembirakan, setelah empat bulan mengalami defisit, akhirnya neraca dagang kali ini surplus US$ 330 juta.
Kendati surplus, Kepala BPS Suhariyanto menyayangkan surplus terjadi karena impor yang alami penurunan tajam, bukan karena kenaikan ekspor. Impor tercatat sebesar US$ 12,20 miliar, turun 18,61% dari bulan sebelumnya, juga turun 14,02% dari Februari tahun lalu. Sedangkan ekspor yang tercatat US$ 12,53 miliar juga ikut turun 10,03% dibanding bulan sebelumnya, dan turun 11,32% dari Februari tahun lalu.
"Tapi setidaknya surplus ini berita yang baik," ungkap Suhariyanto saat konferensi pers di kantornya, Jumat (15/3). Ke depan tentunya perlu terus mendorong upaya untuk genjot ekspor. Salah satunya harus melakukan hilirisasi dengan menambah diversifikasi produk dengan nilai tambah yang dapat dinikmati dalam negeri, serta membuat produk substitusi impor. "Meskipun ini tidak mudah,"ujar Suhariyanto.
Apalagi ditengah situasi global yang mengalami perlambatan. World Bank (WB) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari 3% menjadi 2,9%. Termasuk Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang ikut dipangkas. Padahal kedua negara tersebut masih menjadi tujuan utama ekspor Indonesia.
Alhasil, ekspor ke AS dan Tiongkok masih mengalami penurunan terbesar dari Januari lalu. Masing-masing turun US$ 238,7 juta dan US$ 191,1 juta. Sedangkan ekspor ke Tiongkok turun 25,6% secara tahunan. Dari US$ 2,06 miliar di Februari tahun lalu menjadi US$ 1,54 miliar di Februari 2019. Ke AS, ekspor Februari 2018 tercatat US$ 1,3 miliar, lalu pada Februari 2019 tercatat US$ 1,27 miliar, turun 1,13%.
Selain itu, harga komoditas juga mempengaruhi turunnya ekspor. Suhariyanto menjelaskan sepanjang Januari-Februari ini sebenarnya terjadi peningkatan volume ekspor beberapa komoditas, hanya saja penurunan harga membuat nilai ekspor terus alami penurunan.
Januari-Februari 2018 misalnya, nilai ekspor sawit (CPO) dan turunannya tercatat US$ 2,76 miliar. Kini malah turun menjadi US$ 2,44 miliar. Memang CPO dan turunannya terjadi penurunan di berbagai negara, antara lain India, Spanyol, Belanda dan Italia. "Karena ada black campaign juga," imbuh dia.
Bahan bakar mineral selama Januari-Februari 2019 juga mengalami penurunan ekspor. Nilai ekspor batu bara turun 8,77% secara tahunan, sedangkan volume naik 10,3%.
Di sisi lain, pemerintah juga masih harus memonitor pergerakan impor. Terutama efektivitas kebijakan menahan 1.147 impor barang konsumsi, serta kebijakan B20. Penurunan impor kali ini, jelas Suhariyanto, terbantu oleh kebijakan tersebut serta banyaknya proyek infrastruktur yang hampir selesai.
"Itu salah satu pengaruhnya tapi saua tidak bisa mengatakan dengan yakin karena penurunan impor dipengaruhi banyak hal," ujar Suhariyanto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News