Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Pemilik usaha kecil menengah (UMK) harus bersiap membayar pajak penghasilan (PPh) lebih besar dari usaha tahun ini. Sebab Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 tentang PPh atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Ditjen Pajak menargetkan revisi beleid ini berlaku tahun depan.
Aturan nomor 46/2013 mengamanatkan UKM yang memiliki omzet usaha tidak lebih dari Rp 4,8 miliar per tahun wajib membayar PPh pribadi maupun badan sebesar 1% dari omzet. Dalam revisiĀ kelak, Ditjen Pajak mengusulkan pungutan PPh final itu hanya berlaku bagi UKM yang baru berumur kurang dari tiga tahun. Pelaku UKM lama atau berumur lebih dari tiga tahun harus membayar PPh badan dan perorangan secara normal sesuai aturan yang berlaku, yakni 25% dari laba.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Ditjen Pajak Mekar Satria Utama mengatakan, usulan revisi beleid ini telah sampai ke Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Ditjen Pajak ingin pembahasan revisi aturan pajak UKM ini selesai akhir tahun ini. "Semoga bisa diselesaikan tahun ini, penerapan perubahannya mulai tahun depan," kata Mekar kepada KONTAN, Senin (22/6).
Ditjen Pajak memandang revisi ini sangat penting untuk mengatasi penyalahgunaan pajak UKM. Sejak PP 46/2013 berlaku, banyak pengusaha UKM memilih membayar PPh final 1% karena tarifnya lebih murah. Padahal, sebelumnya pengusaha yang berubah jadi UKM itu sudah membayar pajak dengan tarif reguler.
Apalagi, PP 46/2013 juga tak melarang pengusaha UKM beralih dari pembayaran PPh reguler ke final. Namun, Ditjen Pajak tak merinci data pengusaha UKM yang beralih ke PPh final.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BKF Suahasil Nazara saat dikonfimasi terkait hal ini mengaku belum ada pembahasan lebih detail mengenai rencana revisi beleid itu. Ia juga belum bisa memastikan kapan pembahasan peraturan ini akan kelar.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo sependapat, PP 46/2013 memang membutuhkan revisi. Soalnya, beleid itu menimbulkan distorsi lantaran tak mendefinisikan sasaran calon kena pajak sesuai dengan undang-undang (UU) UKM.
Padahal UU UKM menyebut definisi UKM selain berdasarkan omzet, juga dari besarnya aset dan afiliasi. Potensi penerimaan pajak UKM sebenarnya bisa mencapai Rp 10 triliun per tahun. Tapi realisasinya kini hanya sebesar Rp 2 triliun per tahun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News