Reporter: Noverius Laoli | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Hasil muktamar VIII Partai Persatuan Pembangunan ( PPP) versi Surabaya dan versi Jakarta terancam dibatalkan. Soalnya hasil muktamar ini dinilai bertentangan dengan Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai. Pembatalan kedua hasil muktamar ini tengah bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Gugatan ini diajukan AH.Wakil Kamal Ketua Departemen Advokasi Hak Asasi Manusia (HAM) DPP PPP Periode 2011-2015. Gugatan ini didaftarkan pada 4 Desember 2014, dengan perakara nomor 57/Pdt.Gb/2014/PN.Jkt.Pst.
Dalam gugatannya, Kamal menggugat bekas Ketua Umum PPP Suryadharma Ali, Ketua umum PPP versi Surabaya Romahurmuziy, Aunur Rofiq selaku sekjen PPP versi Surabaya, Djan Faridz ketua umum PPP versi Jakarta dan Achmad Dimyati Natakusumah Sekjen PPP versi Jakarta. Mereka berturut-turut sebagai tergugat I,II,III,IV dan V. Kamal juga menyeret Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) sebagai turut tergugat.
Dalam gugatannya, Kamal mengatakan, perpecahan PPP saat ini merupakan pertikaian personal antara Suryadharma Ali dengan Romahurmuzy cs, yang merupakan orang-orang kepercayaan dilingkaran kekuasaannya. Dia bilang konflik hanya di segelintir elit partai, bagaikan burung gagak yang mabuk uang haram dan kekuasaan.
"Pertikaian Ketua Umum melawan bekas anak asuhnya itu akhirnya menarik seluruh struktur partai ke arena pertengkaran mereka, dengan membuang jauh sifat akhlaqulkarimah yang seharusnya menjadi mahkota pemimpin umat," ujar Kamal di PN Jakarta Pusat usai sidang pertama, Senin (22/12).
Kamal mengatakan kepengurusan DPP PPP hasil dari dua Muktamar VIII PPP yang diselenggarakan pada tanggal 15-18 Oktober 2014 di Surabaya dan pada tanggal 30 Oktober – 02 November 2014 di Jakarta tidak sah. Paslanya, kedua muktamar itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan (2) Junto Pasal 73 ayat (1) Anggaran Dasar PPP yang pada pokoknya mengatur waktu penyelenggaraan Muktamar VIII PPP yang sah adalah mulai dari 01 Januari 2015 sampai dengan 20 Oktober 2015.
Selain itu, kedua muktamar versi Surabaya dan Jakarta juga melanggar Putusan Mahkamah Partai DPP PPP Nomor: 49/PIP/MP-DPP.PPP/2014 tertanggal 11 Oktober 2014. Sebab, baik Muktamar Surabaya maupun Muktamar Jakarta bertentangan dengan AD/ART PPP dan Putusan Mahkamah Partai. Secara mutatis mutandis Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor: M.HH.07.AH.11.01 Tahun 2014 tertanggal 28 Oktober 2014 juga tidak sah dan batal demi hukum.
Karena itu, Kamal meminta agar Pimpinan Majelis Syari’ah DPP PPP mengambil alih tugas dan tanggung jawab Pengurus Harian DPP PPP hasil Muktamar VII PPP untuk menetapkan kepanitiaan, waktu dan tempat penyelenggaraan Muktamar VIII PPP tahun 2015. Muktamar ini tidak lagi melibatkan elit partai tengah terlibat konflik saat ini. Soalnya Kamal menuding mereka tuna akhlaqul karimah yang hampir meruntuhkan Rumah Besar Umat Islam yang merupakan warisan ulama ini.
Karena itu, Kamal meminta majelis hakim PN Jakarta Pusat membatalkan kedua muktamar itu.Dan memerintahkan Menkumham membatalkan surat keputuan tentang pengesahan perubahan susunan kepengurusan dewan pimpinan PPP tertanggal 28 Oktober 2014. Kamal juga meminta agar pengadilan menyatakan kepengurusan DPP PPP yang sah adalah hasil muktamar VII PPP di Bandung pada 3-6 Juli 2011 yang masa jabatannya berakhir 2015..
Kuasa hukum kubu Suryadharma, Djan Faridz dan Dimyati yang diwakili dari kantor hukum Gaji Djemat, Adhika Wishnu Prabowo mengatakan gugatan yang dilayangkan Kamal tidak memenuhi syarat formalitas. Soalnya, Kamal meminta majelis syariah melakukan suatu perbuatan tapi pihak yang digugat adalah perorangan. "Ini menyebabkan gugatan tidak jelas," ujarnya.
Selain itu, permohonan pembatalan SK Menkumham salah alamat. Sebab pembatalan SK Menkumham hanya bisa ditujukan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Sementara kuasa hukum dari kubu Romahurmuziy dan Menkumham tidak hadir dalam persidangan. Karena itu, ketua majelis hakim Suwidya kembali melayangkan panggilan kepada para pihak untuk menghadiri persidangan pada Senin (29/12). Kendati begitu, mejelis hakim menyarankan para pihak untuk melakukan mediasi di antara mereka sendiri sebelum gugatan dilanjutkan di pengadilan.
Apalagi Undang-Undang memerintahkan sengketa seperti ini harus diselesaikan dalam waktu 60 hari kalender. Artinya waktu yang diberikan sangat singkat dan putusan hakim pasti akan membuat salah satu pihak menang atau kalau. "Kami sarankan untuk islah dulu," terang Suwidya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News