Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Mulai 16 April 2015, kebijakan larangan penjualan minuman beralkohol alias minuman keras di minimarket-minimarket di Indonesia berlaku efektif. Larangan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol.
Permendagri tersebut melarang penjualan minuman beralkohol golongan A yakni yang memiliki kadar alkohol di bawah 5 persen antara lain jenis bir, dilarang dilakukan di minimarket. Penjualan hanya boleh di supermarket atau hipermarket namun hanya boleh dikonsumsi di lokasi.
Menteri Perdagangan (Mendag) Rachmat Gobel sudah menegaskan bahwa kebijakan itu diambil untuk melindungi generasi muda Indonesia dari miras. Saat ini, akses generasi muda terhadap miras dinilai sangat mudah , terutama dengan dijualnya miras di minimarket. (baca: Tonton Video Anak SMP Beli Miras di Minimarket, Mendag Sebut Indonesia Sudah Kebablasan)
Di sisi lain, Racmat Gobel juga mengakui bahwa kebijakan pelarangan miras tersebut memiliki tampat terhadap penerimaan negara dari cukai miras yang saat ini mencapai sekitar Rp 6 triliun per tahun. Namun dia menegaskan bahwa apalah arti cukai miras Rp 6 triliun tersebut kalau generasi penerus bangsa mengalami ketergantungan kepada miras.
"Penting mana? Menjaga masa depan generasi bangsa atau mempertahankan cukai miras Rp 6 triliun itu tapi generasi muda negara rusak? Kalau saya pilih kehilangan Rp 6 triliun tapi generasi muda kita selamat," ujar Rachmat Gobel di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Sabtu (31/1/2015). (Baca:"Pilih Mana, Selamatkan Generasi Muda atau Cukai Miras Rp 6 Triliun?")
Sebenarnya kata dia, tak ada yang harus ditakutkan dari pelarangan miras di supermarket itu. Ia yakin, dengan pelarangan itu maka penjualan miras hanya akan ada di kafe atau hotel. Apabila itu terjadi, maka negara akan mendapat tambahan pemasukan dari pajak pertambahan nilai (PPn) sebesar 10 persen dan service charge sebesar 11 persen.
"Ada 21 persen kalau dia minum di cafe, restoran atau hotel. Kalau beli di minimarket kan enggak ada pajaknya? Jadi yang tadi Rp 6 triliun cukai berkurang bakal ada pemasukan pemerintah lainnya dari pemasukannya bisa dari pajak," ucap dia.
Bahkan, Mendag juga pernah menyindir para pengusaha miras yang menentang kebijakannya tersebut. Dia mempertanyakan mengapa para pengusaha menjual minuman beralkohol tersebut di minimarket. "Kenapa mereka (pengusaha) harus jual ke orang-orang (anak-anak). Andaikan pengusaha itu anaknya disuruh minum (miras) mau enggak itu?," kata dia. (Baca: "Andaikan Pengusaha Bir Anaknya Disuruh Minum Miras Mau Enggak?" )
Di berbagai negara lanjut dia, anak-anak yang belum cukup umur tak diperbolehkan membeli miras seenaknya. Bahkan, disetiap supermarket sang kasir selalu menanyakan kepada pembeli miras terkait kartu identitasnya.
Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi penyalahgunaan miras oleh anak-anak. Selain dinilai merusak moral, Gobel juga meyakini dampak miras juga akan berimbas kepada daya saing suatu bangsa. Pasalnya, apabila anak muga suatu bangsa sudah biasa minum miras, maka faktor kesehatan dan pola pikir bisa terganggu.
Gobel menyatakan, jika masih ditemui minimarket dan toko pengecer yang menjual minuman beralkohol, maka pemerintah daerahlah yang akan mengambil tindakan. Kata Rahmat, pada dasarnya tujuan dilarangnya penjualan minuman beralkohol di minimarket sudah jelas karena saat ini minimarket sudah berada di tengah pemukiman, dekat dengan sekolah dan rumah ibadah. (Yoga Sukmana)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News