Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dewan Perwakilan Rakyata (DPR) telah resmi menyetujui revisi Undang-Undang (UU) TNI dan revisi UU Polri menjadi usul inisiatif dewan legislatif.
Pasca, diusulkan menjadi RUU usul inisiatif, kedua revisi UU tersebut menuai polemik karena berisi pengaturan yang bertentangan dengan semangat reformasi.
Misalnya dalam draf revisi UU TNI Pasal 47 ayat (2) menyatakan bahwa "Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung, serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan presiden.
Baca Juga: Usia Pensiun Prajurit TNI Akan Diperpanjang, Cek Gaji TNI Jenderal - Tamtama 2024
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, prinsipnya kalau TNI aktif bisa bekerja dimana saja sesuai keinginan Presiden, TNI itu sudah menjadi seperti warga sipil lainnya.
"Jelas ini bertentangan dengan fungsi TNI sebagai alat pertahanan negara," ujar Lucius saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (2/6).
Persoalannya TNI aktif sebagai prajurit, sudah pasti akan tunduk pada hirarki militer. Ia tak bisa begitu saja mengabdi pada lembaga sipil dan tunduk pada hirarki lembaga sipil dimana ia bergabung.
"Pasti ada persoalan dalam hal koordinasi yang membuat TNI sudah pasti tak bisa bekerja di instansi sipil," terang Lucius.
Baca Juga: Inilah Gaji Polisi 2024, Jika Minat Segera Daftar Di Penerimaan.polri.go.id
Formappi juga menyoroti TNI dengan organisasi pertahanannya tentu akan terganggu ketika banyak prajurit aktifnya bekerja di lembaga sipil.
Hal itu menimbulkan pertanyaan bagaimana tanggungjawab pertahanan masih bisa diandalkan ketika TNI yang seharusnya bertugas untuk itu justru sibuk dengan urusan kekuasaan sipil.
Dan yang paling penting, praktik TNI bisa bekerja dimana saja itu yang di era reformasi ditentang hingga melahirkan pemisahan antara TNI dan Polri sekarang.
Ini dimaksudkan agar fungsi kedua lembaga itu tak bisa dicampur aduk dan agar TNI fokus pada bidang pertahanan saja.
"Biarkan sipil untuk urusan pekerjaan yang menjadi ranah sipil," ucap Lucius.
Baca Juga: Daftar Penerimaan Tamtama & Bintara Di Penerimaan.polri.go.id, Cek Gaji Polisi 2024
Sementara itu, Direktur Eksekutif SafeNet Nenden Sekar Arum mengatakan, revisi UU Polri akan semakin memberangus kebebasan berpendapat dan berekspresi, hak untuk memperoleh informasi. Serta hak warga negara atas privasi, terutama yang dinikmati di media sosial dan ruang digital.
"Pasal 16 ayat (1) huruf q, dimana kewenangan kepolisian bertambah ya sampai ke ruang siber," ungkap Nenden.
Untuk diketahui, Pasal 16 ayat (1) huruf q draf revisi UU Polri menyatakan bahwa Polri berwenang untuk melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi.
Baca Juga: Kapuspen: Tidak Ada Prajurit TNI yang Jadi Tentara Bayaran di Negara Mana pun
Asisten peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bugivia Maharani menyoroti proses pembahasan revisi UU Polri dilakukan dalam masa transisi pemerintahan.
Padahal, Pemerintah maupun DPR tidak seharusnya mengambil kebijakan-kebijakan yang sifatnya strategis dan substansial pada masa pemerintahan transisi saat ini.
"Pembentukan draf revisi UU Polri terkesan terburu-buru dan mengabaikan partisipasi publik secara bermakna," ujar Rani.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News