Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menepis anggapan bahwa pemerintah tengah mendorong kebijakan yang mengarah pada fiscal dominance. Ia menegaskan koordinasi kebijakan fiskal dan moneter tetap berjalan seimbang, dengan masing-masing otoritas berfokus pada mandatnya.
“Soal fiscal dominance. Jadi gini, tadi saya baru makan siang dengan Gubernur BI Perry Warjiyo. Kita kompak pokoknya. Fiskal-fiskal, moneter ya moneter. Kita akan fokus ke wewenang masing-masing,” ujar Purbaya di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (26/9).
Menurut Purbaya, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) kini memiliki kesamaan pandangan dalam menjaga pertumbuhan ekonomi. Ia mencontohkan, perlambatan ekonomi sebelumnya sempat dipicu oleh ketidaksinkronan fiskal-moneter. Namun kini, ia memastikan kedua otoritas berkomitmen untuk rutin berdiskusi demi mempercepat pemulihan ekonomi.
Baca Juga: Pesan Menkeu Purbaya untuk Orang Kaya: Jangan Kabur, Bayar Pajak Sesuai Aturan!
“Sekarang sudah satu pikiran, kita ingin memajukan ekonomi bareng-bareng. Dan ini serius. Kami betul-betul saling sinergi. Pak Perry itu sama saya sudah kenal lebih dari 20 tahun,” imbuhnya.
Latar Belakang Kritik Fiskal Dominance
Sejumlah pihak sebelumnya menyoroti langkah pemerintah yang dianggap memperlebar ruang fiscal dominance. Isu ini mulai mencuat sejak program burden sharing antara BI dan Kementerian Keuangan di era Menkeu Sri Mulyani. Skema tersebut digunakan untuk mendanai program prioritas, termasuk pembangunan tiga juta rumah dan koperasi desa.
Di era Purbaya, sorotan muncul setelah pemerintah memindahkan kas negara Rp 200 triliun dari Bank Indonesia ke bank-bank Himbara. Kebijakan ini bertujuan mendorong likuiditas perbankan dan pertumbuhan kredit, tetapi dinilai sebagian kalangan berpotensi mengurangi ruang BI dalam menjaga stabilitas moneter.
Langkah terbaru yang menuai perdebatan adalah keputusan serempak bank-bank Himbara menaikkan bunga deposito valas menjadi 4% mulai November 2025. Keputusan itu disebut-sebut terkait pernyataan Purbaya soal insentif repatriasi dolar milik WNI untuk memperkuat suplai valas domestik.
Di sisi lain, revisi UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) juga memicu kekhawatiran. Revisi tersebut berpotensi mengubah mandat BI dan membuka ruang evaluasi berkala pejabat bank sentral oleh parlemen, sehingga dikhawatirkan mengikis independensi BI.
Peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI, Teuku Riefky, menilai akar masalah ada pada pengelolaan fiskal. Menurutnya, porsi belanja untuk program populis pada pemerintahan Prabowo lebih besar dibandingkan sebelumnya, sehingga mempersempit ruang fiskal.
“Pemerintah harus mengembalikan disiplin fiskal dan menghilangkan fiscal dominance yang muncul dari burden sharing,” tegas Riefky.
Baca Juga: Bertemu Gubernur BI, Purbaya: Kebijakan Kemenkeu dan BI Selaras
Selanjutnya: Rupiah Terancam Anjlok ke Level Rp 17.000 per Dolar AS
Menarik Dibaca: Hujan Lebat Turun di Provinsi Ini, Simak Peringatan Dini BMKG Cuaca Besok (27/9)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News